A. IDENTITAS BUKU
Identitas buku yang saya gunakan sebagai alat untuk memahai
“Realitas Media dan Konstruksi Sosial Media Massa” adalah sebagai berikut:
Judul : Konstruksi Realitas
Politik dalam Media Massa (Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap
Berita-berita Politik).
Pengarang :
Ibnu Hamad.
Penerbit :
Jakarta, Granit.
Tahun Terbit :
Mei 2004.
Cetakan, Halaman : I,
xix + 243 hlm.
“Dalam
kehidupan politik, media massa mampu menciptakan opini publik. Pemberitaan
tentang politik (actor, partai politik, dan peristiwa politik) senantiasa
mengundang perhatian, tanggapan, dan bahkan tindakan politik. Hal ini
disebabkan oleh strategis dan besarnya kemampuan media dalam mengonstruksikan
realitas politik.”
B. DESKRIPSI ISI BUKU
Buku yang
berjudul “Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa (Sebuah Studi Critical
Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik)” ini terdiri dari tujuh
bab yaitu: media massa dan konstruksi realitas politik (sebuah kerangka teori);
analisis wacana berita politik (pendekatan dan metodologi); interaksi pers dan
politik dalam panggung sejarah politik Indonesia; partai politik dan pemilu
(sejarah dan profil); media dan pengonstruksian parpol (hasil analisi wacana
kritis); menelisik wacana politik (menyingkap sikap politik media); masa depan
analisis wacana kritis berita politik (kesimpulan, implikasi dan epilog).
Peristiwa
politik selalu menarik perhatian media massa sebagai bahan liputan, dikarenakan
dewasa ini politik berada di era mediasi dan peristiwa politik selalu mempunyai
nilai berita. Alat-alat yang digunakan untuk mengonstruksikan realitas politik
yaitu languageof politic, framing strategies, dan agenda setting.
Secara global
ahirnya berita politik senantiasa dimulai dengan peristiwa politik baik yang
menyangkut organisasi maupun actor politik. Pengonstrksian realitas politik
hingga membentuk makna dan citra tertentu pertama-tama tergantung pada faktor sistem
media massa yang berlaku; pembuatan wacana politik dalam sistem media
libertarian akan lebih mudah dilakukan dibandingkan dalam sistem otoritarian.
Proses pembuatan berita politik juga dipengaruhi oleh faktor eksternal dan
internal media serta perangkat pembuatan wacananya sendiri.
Salah satu
faktor yang memberi pengaruh signifikan terhadap proses pembuatan atau
pengonstruksian realitas politik hingg ajenis opini yang terbentuk adalah sistem
media massa dimana sebuah media menjalankan operasi jurnalistiknya.
Keikutsertaan
media dalam dalam mengubah sistem politik tiada lain adalah melalui pembentukan
opini publik atau penapat umum., yaitu upaya membangunkan sikap dan tindakan
khalayak mengenai sebuah masalah politik atau actor politik. Sejauh ini komunikasi
politik sering diidentikkan dengan propaganda, karena didalamnya hanya berisi
muatan-muatan kepentingan.
Proses
konstruksi realitas pada prinsipnya setiap upaya “menceritakan”
(konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda tak terkecuali mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan politik adalah usaha mengonstruksikan realitas.
Pembuatan berita di media massa pada dasarnya adalah penyusunan
realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna.
Dengan demikian seluruh isi media tidak lainadalah realitas yang tealah
dikonstruksikan (constructed reality)
dalam bentuk wacana yang bermakna.
Dalam proses
konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama untuk menceritakan realitas dan
berperan sebagai alat konseptualisasi dan alat narasi. Persoalan makna dalam
penggunaan bahasa berpengaruh terhadap konstruksi realitas. Bahasa dalam hal
ini digunakan untuk mencerminkan realitas sekaligus menciptakan realitas. Tiga
tindakan yang dilakukan komunikator massa tatkala melakukan konstruksi
realitas: pemilihan symbol (fungsi bahasa), pemilihan fakta yang akan disajikan
(strategy framing), dan kesediaan memberi tempat (agenda setting).
Sistem politik
yang diterapkan oleh sebuah negara ikut menentukan mekanisme kerja media massa
negara itu: memengaruhi cara media massa tersebut mengonstruksikan realitas.
Dalam mengonstruksikan realitas politik, faktor ideologi yang dimiliki media
dan yang dianut khalayak memengaruhi bidikan pasar media itu. Selain itu adalah
kongsi antara penguasa dan pengusaha serta kepentingan-kepentingan yang
bersifat tumpang tindih.
Dampak dari
keseluruhan proses konstruksi realitas politik adalah munculnya opini publik
mengenai kehidupan politik. Dalam proses pengonstruksian realitas politik ini,
media massa memiliki dua kemungkinan: menjadi saluran politik yang
merefleksikan peristiwa-peristiwa politik yang terjadi atau menjadi agen
politik dimana terutama para jurnalisnya
bertindak selaku komunikator politik dlam kategori profesional. Bagi suatu
kekuatan politik, sikap sebuah media, entah netral atau partisan, adalah
menentukan, terutama untuk tujuan-tujuan pencitraan dan opini publik. Sebab,
disatu pihak ujung dari komunikasi politik adalah mengenai citra ini, yang
banyak bergantung pada cara media mengonstruksikan kekuatan politik itu.
Fokus riset
buku ini adalah pengonstruksian partai politik oleh surat kabar dengan metode
analisis wacana kritis atau CDA (Critical Discourse Analysis). Paradigma
penelitiannya adalah paradigma kritikal (meliihat bahwa pengonstruksian suatu
realitas itu dipengaruhi oleh faktor kesejarahan dan kekuatan-kekuatan soisial,
budaya dan ekonomi-politik media yang bersangkutan).
Berdasarkan
hasil kajian literatur dan pengamatan, jauh hari sebelum Pemilu 1999
dilangsungkan, media telah menjadikan parpol sebagai objek liputan utama.
Setiap saat perkembangan politik selalu up to date¸ bahkan disediakan
rubric khusus untuk pemberitaan tersebut. Dalam buku ini juga menampilkan hasil
temuan riset dengan CDA diantaranya pada media cetak seperti, Haluan, Kompas,
Republika, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Rakyat Merdeka, Kedaulatan Rakyat,
Jawa Post, bali Post, dan Fajar, dengan menyajikan deskripsi (text analysis),
interpretasi (processing analysis), dan eksplanasi (social analysis)
dari masing-masing media.
Umumnya pers
di Indonesia lebih suka mengonstruksikan partai politik dari perspektif
kepentingan kelompok (partai dan politikus tertentu) di satu sisi dan
kepentingan pasar (ekonomi) disisi lain, serta belum menempatkan liputannya
dalam pengembangan demokrasi.
Dari
penelitian pengarang, dapat disimpilkan beberapa hal sebagai berikut:
Ditinjau dari
paradigm kritis serta kerangkan analisis CDA, bahwa realitas yang teramati (virtual
reality) pada level deskripsi terdapat realiats kesejarahan dan pengaruh
kekuatan soisial, budaya dan ekonomi-politik yang berpengaruh atas
pengonstruksian partai-partai politik pada level interpretasi dan eksplanasi.
Secara umum
tipologi pengonstruksian parpol terbagi atas dua jenis yang saling terkait,
yaitu berdasarkan opini publik yang dibangun untuk tiap-tiap partai, dan segi
kepentingan ideology, idealis, politik, dan kepentingan ekonomi masing-masing
media terhadap partai. Motif ideologis bisa terbaca dari teks-teks yang
diberitakan oleh media.
Proses
pengonstruksian parpol dipengaruhi kekuatan internal (ideologis, idealis) dan
kekuatan eksternal (pasar, situasi politik).
Ditimbang dari
paradigm kritikal, pengostruksian parpol oleh media belum menopang peningkatan
kualitas demokrasi, sebab masih terlampau didominasi oleh berita tentang
peristiwa dan figur partai.
Untuk dapat
menungkapkan “fakta sosial” dibalik teks, diperlukan methodologi yang berganda
(multi-level analisis). Yaitu dibagi menjadi beberapa tahap:
Pertama,
mengidentifikasi tanda-tanda yang terdapat dalam teks. Untuk ini diperlukan
satu metode analisis teks.
Kedua, memberi
makna terhadap ttanda-tanda tersebut. Dalam hal ini diperlukan metode
interpretasi yang berbasis teoritis.
Ketiga,
memerkirakan motif atau tujuan si pembuat teks yang tersimpan dalam teks yang
dibuat. Dalam hal ini diperlukan metode prediksi tujuan secara sistematis.
Keempat,
mengetahui faktor-faktor mengapa si pembuat teks menggunakan tanda-tanda
tertentu dalam teksnya. Hal ini bisa digali melalui pemahaman secara empatik,
atau pengamatan bahkan wawancara.
Hali ini
dilakukan agar ditemukannya fakta sosial dibalik peristiwa-peristiwa komunikasi
lainnya.
Dilihat dari
sisi sosial, media masih cenderung lebih suka meliput atau mengekspos peristiwa
(event) dari pada program partai. Ini menandkan bahwa media massa belum
turut serta secara aktif membangun kualitas kehidupan politik.
Dalam buku ini
juga disertakan framing dari beberapa koran yang dijadikan alat untuk
memahami konstruksi realitas politik dalam media massa (surat kabar).
C. ANALISIS
1.
Teori
Teori
konstruksi sosial (social construction) Berger dan Lukmann merupakan
teori sosiologi kontemporer yang berpijak pada sosiologi pengetahuan. Dalam
teori ini terkandung pemahaman bahwa kenyataan dibangun secara sosial, serta
kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya.
Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang
diakui memiliki keberadaan (being)-nya sendiri sehingga tidak tergantung
kepada kehendak manusia; sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa
fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang
spesifik (Berger, 1990:1).
Oleh karena
konstruksi sosial merupakan sosiologi pengetahuan maka implikasinya harus
menekuni pengetahuan yang ada dalam masyarakat dan sekaligus proses-proses yang
membuat setiap perangkat pengetahuan yang ditetapkan sebagai kenyataan.
Sosiologi pengetahuan harus menekuni apa saja yang dianggap sebagai pengetahuan
dalam masyarakat.
Sosiologi
pengetahuan, yang dikembangkan Berger dan Luckmann, mendasarkan pengetahuannya
dalam dunia kehidupan sehari-hari masyarakat sebagai kenyataan. Bagi mereka
(1990:31-32), kenyataan kehidupan sehari-hari dianggap menampilkan diri sebagai
kenyataan par excellence sehingga
disebutnya sebagai kenyataan utama (paramount).
Berger dan Luckmann (1990:28) menyatakan dunia kehidupan sehari-hari
menampilkan diri sebagai kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia. Maka dari itu,
apa yang menurut manusia nyata ditemukan dalam dunia kehidupan sehari-hari
merupakan suatu kenyataan seperti yang dialaminya.
Teori
kultivasi adalah teori sosial
yang meneliti efek jangka panjang dari televisi pada khalayak. Teori
ini merupakan salah satu teori komunikasi massa yang
dikembangkan oleh George Gerbner dan
Larry Gross dari University of Pennsylvania.
Gerbner dan
Stephen Mirirai (1976) mengemukakan bahwa TV sebagai media koomunikasi massa
telah dibentuk sebagai simbolisasi lingkungan umum atas beragam masyarakat yang
diikat menjadi satu, bersosialisasi, dan berperilaku.
Menurut
teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi
belajar tentang masyarakat dan kultur dilingkungannya.
Dengan kata lain, persepsi apa
yang terbangun di benak pemirsa tentang masyarakat dan budaya sangat
ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak pemirsa dengan televisi,
mereka belajar tentang
dunia, orang-orangnya, nilai (nilai
sosial) serta adat dan tradisinya.
2.
Studi Kasus
“Konstruksi Pandangan Masyarakat Tentang Pacaran: Studi
Terhadap Pelajar SMP”
(Ide Cerita Film Televisi (FTV) yang Ditayangkan di
SCTV)
-
Deskripsi Film Televisi
(FTV) yang Ditayangkan di SCTV secara Umum
Saat ini FTV
yang ditayangkan di SCTV terhitung tiga sampai lima kali dalam setiap harinya.
Berikut jadwal penayangan dalam setiap harinya:
Hari
|
Durasi I
(00.00-00.30)
|
Durasi II
(10.00-11.00)
|
Durasi III
(10.00-12.00)
|
Durasi IV
(12.30-14.00)
|
Durasi V
(12.30-14.30)
|
Durasi VI
(14.03-14.30)
|
Durasi VII
(17.30-19.00)
|
Durasi VIII
(22.33-00.00)
|
Jumlah
Tayang
|
Senin
|
√
|
√
|
-
|
√
|
-
|
√
|
-
|
-
|
4x
|
Selasa
|
√
|
-
|
-
|
-
|
√
|
-
|
√
|
√
|
4x
|
Rabu
|
√
|
-
|
√
|
-
|
√
|
-
|
√
|
√
|
5x
|
Kamis
|
√
|
-
|
√
|
-
|
-
|
-
|
-
|
√
|
3x
|
Jum’at
|
√
|
-
|
√
|
-
|
-
|
-
|
-
|
√
|
3x
|
Sabtu
|
√
|
-
|
√
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2x
|
Minggu
|
-
|
√
|
-
|
√
|
-
|
√
|
-
|
-
|
3x
|
Source: http://www.sctv.co.id/schedule
Dari jam
tayang tersebut waktu yang paling banyak digunakan adalah durasi nomor III, IV,
dan VII. Kebanyakan para penonton memanfaatkan acara FTV sebagai pelengkap pada
saat istirahat atau bahkan menjadi kebutuhan, missal menyaksikan artis idolanya
acting.
Beberapa
contoh judul FTV antara lain; “Guruku Jago Kungfu”, “Bukan Siswi Biasa”, “Cinta
Bersemi di Putih Abu-abu”, “Undangan Kuning”, dsb.
Dari segi
ide cerita, hampir semua FTV tersebut mengangkat tema besar mengenai ‘Cinta’
dengan menggunakan latar daerah-daerah tertentu lengkap dengan menampilkan
budayanya. Misal Bali, Jogjakarta, Bandung, dsb.
Konflik yang
diangkat dalam kebanyakan cerita FTV adalah seputar kehidupan sehari-hari
dengan menggunakan cerita-cerita fiktif. Berikut analisis (secara umum) dari
FTV yang ditayangkan di SCTV.
Kebanyakan
ide cerita tentang cinta yang di tayangkan, menggunakan konsep yang menampilkan
perbedaan status sosial. Ceritanya hanya seputar seorang cewek mengejar cowok
idamannya atau sebaliknya dan tidak jauh dari dunia remaja. Yaitu masa-masa
sekolah atau kuliah, dengan pelengkap mata pencaharian pengusaha atau pemilik
perusahaan dan sebaliknya. Hampir semua ending dari FTV yaitu jadian,
dengan konflik seputar proses sebelum jadian atau perkenalan.
Selain ide
tersebut, yaitu menceritakan tentang perjalanan cinta sepasang kekasih dengan
konflik perselingkuhan, pengkhianatan, atau kesetiaan. Dalam FTV, cinta
digambarkan menjadi sesuatu yang agung, yang diaktualisasikan dengan
kalimat-kalimat “aku sayang kamu” atau “aku cinta kamu” dimana hal itu
mengawali terjadinya suatu hubungan (pacaran). FTV juga menggambarkan tayangan
yang menceritakan bahwa mengejar cinta sejati atau orang yang disukai sebagai
suatu keharusan.
Dalam hal
ini pacaran digambarkan sebagai sepasang kekasih yang saling menyayangi dan
mengikat diri dengan lisan (ungkapan-ungkapan, ‘nembak’), kemudian
menghabiskan hari-hari bersama dengan jalan-jalan di mall dan
bergandengan tangan atau makan di restoran berduaan.
Pacaran
digambarkan sebagai sebuah hak manusia, yang bebas mencintai lawan jenisnya tanpa
mengenal batas. Seperti majikan pacaran dengan pembantunya, guru dengan
muridnya, bos dengan karyawannya, penjual dengan pembelinya, atau setingkat
seperti sesama teman, teman sekelas, dan dsb.
Hal ini
tidak akan menjadi suatu masalah apabila dampaknya tidak merugikan. Akan
tetapi, apabila dilihat dari segi waktu penayangannya adalah waktu dimana semua
umur bisa menonton, baik dewasa, remaja, bahkan anak-anak.
-
Realitas
Saat ini
penyusun mengambil satu obyek, yaitu para pelajar Sekolah Menengah Pertama
dalam lingkup umum (Indonesia). Oleh karena keterbatasan waktu dan tenaga,
penyusun tidak melakukan studi kasus di daerah tertentu.
Realita saat
ini, berdasarkan data yang diambil dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (th.
2010) menyebutkan 62,7 % remaja SMP di Indonesia sudah tidak perawan, 93,7 %
siswa SMP dan SMA pernah melakukan ciuman, 21,2 % remaja SMP mengaku pernah
aborsi, dan yang lebih seru adalah 97 % remaja SMP dan SMA pernah melihat film
porno.
Source: www.planetremaja.com
Selain itu
berdasarkan fakta yang terjadi di situs jejaring sosial (facebook),
penyusun menyimpulkan dari semua teman (di jejaring sosial) baik cewek atau
cowok, sudah pernah atau sedang menjalin hubungan (pacaran) dengan lawan jenis.
Hal ini disimpulkan berdasarkan status hubungan di info, status di dinding,
bahkan foto-foto berduaan dengan pasangan masing-masing.
Dalam dunia
nyata, saat ini banyak siswa-siswi SMP yang memang mengakui pacaran, tentunya
dengan berbagai alasan. Kebanyakan alasan mereka adalah sebagai motivasi atau
penyemangat belajar. Dalam kenyataannya memang ada beberapa yang benar-benar
menjalankan pacaran dengan sehat (tanpa ciuman, freesex, dll.), dan
tidak sedikit pula yang menjalin hubungan tidak sehat. Dalam hal ini penyusun
hanya membatasi pada gaya pacaran mereka. Seperti komitmen untuk pacaran,
panggilan untuk menyebut pacar, kegiatan selama pacaran, dsb.
-
Analisis
Penyusun
berargumen bahwa acara FTV yang ditayangkan di SCTV berpengaruh (negatif) pada
pelajar SMP. Yaitu:
1.
Menginspirasi untuk berpacaran.
2.
Membentuk paradigma bahwa pacaran
adalah hal biasa yang lazim dijalankan setiap orang yang saling suka.
3.
Memengaruhi gaya pacaran mereka,
seperti panggilan “Beb, Sayang, Cinta, Ayang, dll.”, bergandengan tangan,
berpelukan, ciuman, kencan di berbagai tempat, memberi kejutan, surprice, dsb.
Dilihat
menggunakan teori kultivasi, pelajar SMP yang menonton FTV setiap minggu
minimal sekali selama beberapa bulan, mampu membentuk persepsi bahwa pacaran
adalah hal yang sudah biasa bahkan menjadi suatu kebutuhan. Mereka merasa
percaya diri apabila memiliki pacar cantik atau ganteng. Pacaran menunjukkan
bahwa mereka tidak kuper (kurang pergaulan). Tidak anya sebatas itu, mereka
menganggap bahwa ide cerita yang sebenarnya hanya fiktif belaka dinilai seolah
kenyataan yang terjadi pada para pemainnya. Mereka menjadikan referensi untuk
menjaga keharmonisan pasangannya seperti yang dilakukan di FTV.
Sedangkan
melalui teori konstruksi sosial, fenomena seperti penjelasan diatas merupakan
pergeseran budaya dimana pacaran yang awalnya merupakan suatu hubungan yang
hanya dilakukan oleh orang dewasa, kini menjadi lazim dilakukan siapa saja.
Realitas
gaya pacaran yang terjadi di kota-kota menjadi ide untuk para produser
memproduksi FTV. Tentunya dilengkapi dengan imajinasi dari sutradara, tidak
murni sebuah realita di masyarakat. Ide cerita yang dituangkan dalam bentuk
adengan (visual) dan monolog / dialog (verbal) kemudian diinternalisasi oleh
para penonton menjadi suatu persepsi. Diantaranya persepsi bahwa ‘pacaran
adalah sesuatu yang wajar.’
Banyaknya
penonton yang kemudian satu per satu merealisasikan ide cerita tersebut,
mendorong persepsi masing-masing individu. Lama kelamaan lingkungan memengaruhi
masyarakat mengikuti alur tersebut. Realitas si masyarakat yang awalnya
memandang ‘pacaran adalah khusus remaja dewasa’ beralih menjadi ‘pacaran adalah
bebas dilakukan siapa saja’. Terlepas dari sehat tidaknya pacaran.
Dalam hal
ini dapat dijelaskan bahwa ide cerita film televisi (FTV) yang ditayangkan di
SCTV telah mengonstruksi pandangan masyarakat tentang pacaran, yang dapat
dijelaskan dalam tahapan sebagai berikut:
-
Tahap menyiapkan materi
konstruksi: yaitu berupa usaha bersama atau kerjasama antara pihak yang
terlibat dalam pembuatan maupun penayangan FTV di SCTV.
-
Tahapan sebaran konstruksi:
yaitu melalui penayangan yang dilakukan berkali-kali dalam setiap hari,
meskipun dengan beraneka macam judulnya dan ide ceritanya.
-
Pembentukan Konstruksi Realitas:
yaitu pembenaran bahwa seolah cerita yang ada benar-benar realita, setelah itu
mulai memasukkan dalam kehidupan nyata dengan didukung lingkungan masyarakat
yang memiliki persepsi sama.
D. KESIMPULAN
Nilai
yang dikonstruksi oleh media massa adalah nilai yang bersumber dari redaktur
dan para desk media massa. Kalau dikatakan, bahwa media massa adalah
replikasi dari masyarakat disekitarnya, maka artinya replikasi itu diwakilkan
oleh nilai-nilai dan norma yang ada pada redaktur dan para desk media massa
tertentu.
Nilai yang dikonstruksipun tidak selalu bermanfaat
positif, tetapi juga negatif. Secara tidak langsung konstruksi memang terbentuk
setelah adanya persepsi dan efek yang terjadi. Suatu realitas di masyarakat
tidak bisa disebut sebagai konstruksi apabila hanya satu dua orang saja yang
mendukung. Lingkungna sangat berengaruh dalam pembentukan kostruksi realitas
sosial, karena disitulah terjadinya konstruksi.
Realita banyaknya para pelajar SMP yang pacaran
merupakan salah satu contoh dari konstruksi pandangan masyarakat tentang
pacaran yang dibentuk melalui Film Televisi yang ditayangkan di SCTV.
Yang menjadi sorotan utama adalah haruskan media massa
mengorbankan pihak tertentu hanya untuk kepentingan tertentu? Masyarakat
disuguhkan pesan yang yang seharusnya tidak dikonsumsi untuk umum. Untuk
menghindari hal ini diperlukan adanya kerjasama untuk saling mendukung agar
kecerdasan anak bangsa yang merata bisa terwujud.
4 komentar:
hai fatimah,,, wah trima kasih, sangat bermanfaat tulisannya.. :) salam kenal zakariya komunikasi uin sa
boleh minta nomerny gk,, aku pengen diskusi n sharing terkait mata kuliah komunikasi. krim ke emailq ya. esyfitriana@gmail.com
Pas buka2 berkas, e....ada yang mampir. Matur suwun. Maaf ya baru bales... dengan senang hati, insyaallah kita diskusi lebih lanjut... salam kenal juga. ;)
Terima kasih , Mba Nor Fatimah . Semoga selalu bersinar .
Posting Komentar