12.12.12

Fatamorgana Keluarga

Senja pagi mulai menampakkan wajahnya. Prraaaaakkkkkkkk!!!. Pagi buta sudah kudengar suara itu. Yah... seperti biasa, ayahku mulai melampiaskan emosinya dengan membanting apapun yang menurutnya menjadi sebab naiknya darah di ujung kepala. Namun, pagi ini berbeda. Lebih parah dari sebelumnya.

“Ampun...ampun, Yah... ampun...!!!”, teriak adik bungsuku disertai isak tangis. Tapi, tak ada hal lebih yang bisa aku lakukan selain ikut merasakan penderitaan adikku lewat indra pendengaranku. Beginilah pemandangan yang hampir tiap hari aku saksikan.
“Kakak...Kak...”, tiba-tiba Dimas, adikku nyelonong dan ambruk ditempat tidurku. Aku tak mau memanjakannya, karena aku berfikir hanya akan membuatnya semakin lemah menghadapi kerasnya kehidupan keluarga kami.
“Sudah tahu ayah paling gak suka lihat piring kotor dikamar mandi, masih saja diulangi! Makanya punya tangan digunakan. Coba, kalau udah kaya gini siapa yang repot?!”, meski dihati aku tak tega, aku tetap marah-marah didepannya.
“Ayah jahat! Ayah gak sayang sama kita kak”, protesnya padaku.
“Tutup mulutmu. Jangan sekali-kali kau lontarkan kata-kata itu. Sudah, aku tak mau mendengar kata-katamu. Semua ini kau buat karna ulahmu”, aku mencoba memberikan pengertian padanya.

Sejak ayahku kehilangan profesinya sebagai body guard menteri BUMN di negeri ini, tingkahnya semakin parah. Hal yang semakin membuat kemelut dirumahtangga kami semakin runyam semenjak perceraian ayah dan ibu. “Ibu... kenapa kau begitu teganya dengan anak-anakmu ini bu... lihatlah penderitaan kami... tahukah kau bu...”, teriakku dalam hati. Lantas, aku akhiri keterpurukanku hari ini dengan beranjak mengadu pada Sang Pencipta alam semesta.

ᴥᴥᴥ

Hari ini, “ibu tiriku” datang. Begitulah aku menyebut gadis yang setahun lebih muda dari aku, yang sebulan lalu ayah perkenalkan sebagai ibu kami bertiga, aku dan kedua adik laki-laki ku. Alhamdulillah, pagi buta kali ini tak diwarnai pertumpahan emosi di rumah kontrakan kami yang hanya berukuran 9x3 m2. Karena ayah menghabiskan waktu di stasiun Bekasi menanti pujaan hatinya.
Aku mendengar suara motor didepan rumah. Segera aku membukanya sebelum pintu diketuk.
“Cium tangan dulu sama ibumu”, pinta ayah padaku.
“Assalamualaikum, Bu..”, kuucap salam sambil kucium tangan mungil ibuku.
“Waalaikumsalam...dimana adik-adikmu?”, tanya ibu padaku.
“Em...”, aku kebingungan mencari jawaban. Jika aku harus jujur bahwa mereka belum pulang dari tadi siang, tentu ayah naik darah lagi.
“Dimana Dimas dan Ragil?”, tanya ayah dengan nada yang terdengar cukup halus ditelinga ku.
“Mereka tidur dirumah temen, katanya mau ngerjain tugas sekolah, Yah”, terpaksa aku berbohong, “maafkan aku Ayah...”.
“Oh, ya sudah”, jawab ayah mengakhiri pembicaraan kami bertiga.

ᴥᴥᴥ

Kedatangan gadis itu yang seharusnya pantas aku panggil “Dek”, adalah angin segar di keluarga kami. Dia mampu sedikit membantu melenyapkan bibit-bibit penyebab emosi ayah. Walaupun sekedar membantu nyapu, ngepel lantai, nyuci baju, nyuci piring, dan memasak. Tetap saja dilakukan semaunya sendiri. Tapi...berbeda dengan hari ini. Seharian dia habiskan diatas tempat tidur depan TV lengkap dengan wajah suram dan cemberut yang jelas menggambarkan suasana mood yang buruk. Uffffhhhttt!!! Pertanda buruk!. Benar sekali. Belum lima menit aku berhenti menerka-nerka, kejadian buruk menimpa lagi.
“Ardi!!! Apa sih kerjaanmu?! Ayah lapar. Dari tadi pagi bahan masakan udah ada, perlu ayah buang??!!”, bentak ayah yang sontak membuatku lari menuju dapur kecil dipojok rumah.
“Iya Yah, sabar bentar, lima menit aku jamin siap makan”, jawabku gugup.
“Ahh...tak perlu”. Brukk!!! 2 detik ayah berhenti bicara, sayuran berserakan dilantai.
“Apaan sih Mas, ribut aja. Gak malu apa didengar tetangga!! Kaya gitu aja marah!!”, sahut ibuku yang malah ikut-ikutan marah.
“Udah, diam! Cepet ganti baju. Cari makan diluar aja”, aku tahu, omongan itu hanya ditujukan pada ibu. Pemandangan ini yang sering membuat hatiku teriris-iris. Ayah selalu saja menomorduakan anak-anaknya setiap gadis itu disini.

ᴥᴥᴥ

Dua hari sejak kedatangan gadis itu berlalu begitu saja. Alhamdulillah, tanpa diwarnai api kemarahan ayah lagi. Pagi ini aku menyaksikan beban berat di wajah hitam pekat ayah.
“Ayah...minggu depan Ragil ujian semesteran, tadi malam dia meminta administrasi sekolah segera dilunasi”, pintaku dengan hati yang berdebar tak karuan.
“Ayah belum punya uang, Di. Kalau kamu punya ayah pinjam punyamu dulu”, jawabnya.
“Maaf, uangku sudah buat bayar kontrakan kemarin. Sekarang tinggal seribu saja. Bagaimana, Yah?”
“Ya udah, nanti tak usahakan. Kamu tahu sendirikan, sekarang tamu lagi sepi. Di dompet udah gak ada sepeserpun”.
Akhir-akhir ini tamu-tamu sudah mulai sepi. Berbeda dengan dua bulan yang lalu, sejak ayah pertama menekuni profesi aneh ini. Iya, aku menyebutnya aneh, tapi tamu-tamu itu memanggil sosok yang berjasa akan keberadaanku di dunia ini dengan “Ki Gondrong” paranormal padepokan Kyai Santri. Pekerjaan yang menurutku tak jelas halal haramnya ini terus saja ia lakoni. Ingin sekali aku menghentikannya, namun...apalah daya tangan tak sampai. Aku hanya bisa membantu seadanya, dengan status lulusan SMA, aku hanya mampu menghasilkan empat ratus ribu perbulan. Itupun aku harus mengorbankan tiga perempat hariku setiap hari.

ᴥᴥᴥ

Hari ini semua wajah tampak murung. Aku menyaksikan adikku pergi menuntut ilmu tanpa bekal rupiah sepeserpun. Bahkan hanya sarapan dengan segelah air putih. Hati ini ingin sekali menangis. Tapi aku tahu, tak akan mengubah keadaan hanya dengan tangisan.
“Mas, aku butuh netbook, sekarang tugas kuliah udah gak pakai tulisan tangan lagi. Dulu kan Mas janji mau beliin aku netbook. Tapi mana? Omong doang kan?”, ku dengar lamat-lamat suara dari kamar ayah.
“Iya, sabar sayang...nanti kalau udah punya uang, pasti Mas beliin”, jawab ayah.
“Aku tak butuh kata-kata sayang mu. Emangnya kita bisa hidup hanya dengan sayang?! Mana buktinya? Kau ini terlalu banyak janji. Dulu kau janji mau ngasih aku dua juta perbulan, mana buktinya, mana?! Yang ada malah Mas minta aku tiga ratus perbulan!!!”, bentak gadis itu.
“Tolong dong, Sinok ngertiin Mas dulu. Kalau ada uang tak perlu dimintapun pasti Mas kasih”, jawab ayah yang mencoba menenangkan hati gadis itu.
“Harus berapa lama lagi aku harus bersabar?! Kita belum menikah saja sudah begini. Apa Mas sanggup membiayai kuliah ku?”
“Ya pasti mas sanggup dong. Kalau sudah jadi istri Mas, apapun kebutuhan Sinok menjadi kewajiban Mas”
“Dengan apa? Cinta? Sekarang aja ngebiayai sekolah anak sendiri minta uang beasiswa ku, bagaimana mugkin kau bisa?! Makanya kerja dong Mas, kerja!!”
Plakkk... Aku mendegar suara tamparan mendarat di pipi. Bahkan berkali-kali. Spontan aku juga mendengar suara tangisan seorang gadis yang disakiti. Cepat-cepat aku menjauh dari depan pintu sebelum tamparan itu mendarat juga di kepala ku.
Benar. Tiba-tiba ayah keluar dengan wajah merah menyala pertanda ia sagat marah. Ditemani dengan seputung rokok ditangannya ia keluar meninggalkan rumah. Tak lama kemudian aku melihat gadis itu. Aku tak mau menyebutnya ibu. Apalagi setelah aku mendengar kata-kata “belum menikah” dari mulutnya. Lantas, apa yang mereka lakukan?.
Gadis itu keluar meninggalkan rumah dengan lebam di wajahnya dan air mata yang terus bercucuran. Aku tak kuasa menyapanya, apalagi mencegahnya. Aku bingung apa yang harus aku lakukan.

ᴥᴥᴥ

Dua hari tak ada seorangpun yang menginjakkan kaki di kontrakan mungil ini selain aku. Sore ini aku di kagetkan oleh gebrakan pintu yang dibuka oleh seseorang. Ternyata adik ku.
“Gak bisa pelan apa buka pintunya!?”, tanyaku yang sebenarnya tak ingin menyambutnya dengan kata-kata itu.
“Gak”, adikku menjawab enteng.
“Kamu ini...”, segera aku hentikan omelan ku, dari pada harus terpancing emosi.
“Kak. Hari ini masak apa? Laper aku, dari tadi pagi belum makan”, tanya Ragil. Aku harus menjawab apa. Sementara tak ada sesuatu yang bisa dimakan dan sesuatu untuk membeli.
“Sabar dulu. Ayah lagi beli makanan, tidur dulu aja”, aku mencoba menghiburnya.
“Oke. Nanti kalau ayah pulang, cepet bangunin aku ya”, jawabnya dengan girang.
“Ya”.

ᴥᴥᴥ

“Kakak. Ayah mana? Lama banget sih, aku laper banget nih”, ucap adik ku yang mulai menampakkan lemas di tubuhnya. Sungguh aku tak tega melihat kondisi adik ku seperti ini.
“Sabar, nanti juga pulang. Bentar, tak sms ayah dulu”.
Sesegera aku memanfaatkan sisa bonus sms hari ini.
“Asslmkm. Ayah dmn? Qo blm pulng2. Beras udh hbis dr kmren, kita blm makan sama sekali dr td pagi. Ni Ragil jg drumah. Cpet pulng ya...kami tunggu..we loved u more ”.
Lama aku menunggu balasan dari ayah. Tak ada pesan apapun masuk di HP ku. Akhirnya, tengah malam sosok yang dinanti pulang juga. Tapi....
“Assalamualaikum Ayah...”, buru-buru aku menyambutnya dengan ciuman ditangannya.
“Waalaikumsalam”, jawabnya singkat.
Jantungku mulai berdebar, tak ada rambu-rambu positif untuk membeli makanan. Namun, terus saja kudapati seputung rokok ditangannya. Sepertinya bencana akan terjadi lagi dirumah ini. Tiba-tiba kam dikagetkan oleh Ragil.
“Ayah! Ragil lapar. Dari tadi pagi belum makan. Dari pada kelamaan masak, aku beli di warteg aja ya”, pintanya dengan wajah memelas.
“Ayah lagi gak ada duit. Coba minta kakak mu dulu”, jawab ayah.
“Kakak gak punya uang, Yah. Ayah ini gimana sih, kalo kakak punya, dari tadi aku minta dia!!”, bentak Ragil.
“Sabar dulu. Kayaknya besok ada tamu”, jelas ayah.
“Sabar, sabar!! Lapar ya lapar!! Gimana sih. Ditunggu lama-lama malah pulang gak bawa uang. Makanya kerja dong Yah! Jangan hanya bisa nunggu tamu yang tak jelas datangnya. Beli rokok aja bisa. Giliran buat anaknya selalu aja gak bisa!”
“Kau ini. Sudah pinter ya, ngajarin orang tua segala. Kamu pikir selama ini aku hanya santai-santai saja?! Kamu pikir selama ini kau makan dari mana?”, bentak ayah.
“Buktinya. Sekarang aku dan kakak sering kelaparan. Aku sudah gak tahan hidup kaya gini terus-terusan. Jadi orang tua malas banget sih. Lihat, kontrakan saja kakak yang bayar. Bisa apa kau ini”
“Oh. Kaya gini ya, balasan mu pada ayahmu. Oke. Sekarag aku pergi dari kontrakan ini”, jawab ayah yang sudah menjadi keputusannya.
“Ayah mau kemana lagi? Ayah baru pulang, Yah. Istirahat dulu...!!!”, teriak ku menyertai kepergiannya.
Malam itu aku berfikir positif. Mungkin ayah ingin menenangkan diri untuk sementara diluar sana, atau paling tidak dikampung halaman. Sebuah desa di Jawa Tengah yang menjadi tempat kelahiran aku, ayah, ibu, dan kedua adik ku. Tempat yang menjadi saksi bisu kisah bahagia dan terpedih antara ayah, kami, dan ibu kandungku. sejak

ᴥᴥᴥ

Satu setengah bulan sudah ayah benar-benar meninggalkan kontrakan ini. Aku tak bisa mengurus kedua adik ku yang terlanjur hidup dengan emosinya. Berulang kali aku mencoba menelfon ayah, tapi selalu saja tidak bisa.
Hari ini surprize bagiku. Gadis yang kata ayah adalah ibuku, berdiri tepat didepan pintu.
“Assalamualaikum”, ucapnya.
“Waalaikumsalam...silahkan masuk, Bu. Kapan nyampe sini, kok gak ngasih kabar dulu?”, tanya ku.
“Gimana mau ngasih kabar, gak ada satupun nomer ayahmu yang bisa ku hubungi. Dia kemana sih, Di?”
“Lho? Ayah tidak pernah ngasih kabar ke ibu? Setelah satu setengahbulan yang lalu ayah meninggalkan kami, semalam ayah pulang. Tapi cuma sebentar aja. Bahkan, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Lantas ia pergi lagi entah kemana”, jelas aku menceritakan apa yang terjadi selama ini.
“Ayahmu itu kemana sih, bikin sebel orang aja”, tanya ibu lagi.
“Aku juga tidak tahu. Mungkin nanti malam ayah pulang lagi”, jawab ku.

ᴥᴥᴥ

Sore hari aku terkejut dengan kedatangan sesosok lelaki didepan pintu. Kenapa jantungku berdebar tak beraturan seperti ini?. Aku memastikan siapa yang didepan pintu. Segera aku membuka pintu itu.
“Eh...Pak RT. Silahkan masuk pak”. Dalam hati, ternyata bukan ayah.
“Iya...terimakasih”, jawab Pak RT.
“Duduk, Pak. Bentar, tak buat minum dulu...”
“Lho, tidak perlu repot-repot Ardi. Udah sini aja, kamu duduk”
“Oh, tidak, Pak. Ada ibu kok”
“Ibumu disini ya? Kapan datang?”, tanya dia.
“Iya, tadi pagi”.
Sementara aku membuat minuman, aku memanggil ibu untuk menemui pak RT diruang tengah. Aku penasaran dengan maksud kedatangan pak RT hari ini.
“Eh...ada tamu, to. Tumben Pak RT datang kesini. Ardi belum bayar kontrakan ya pak? ”, tanya ibu.
“Tidak, Mbak. Ardi sudah bayar kemarin”, jawabnya yang terkesan dipenuhi rasa cemas.
“Lantas. Ada apa ya, Pak?”, tanya ku seraya memberinya minuman.
“Begini. Ku mohon, tabahkan hati kalian ya. Kalian harus tahu, bahwa apapun yang kita miliki bukan sepenuhnya milik kita. Semunya pasti akan kembali kepada Yang Kuasa pada waktunya. Dan kita, tak pernah ada yang tahu kapan Tuhan akan memintanya. Jadi...”
“Ada apa sih, Pak?. Langsung saja dikatakan”, ibu memotong perkataannya.
“Sabar, Bu”, ucapku mencoba menenangkannya yang sudah mulai menampakkan kegelisahan dihatinya.
“Iya, Mbak. Begini Ardi, Mbak. Baru saja, saya mendapat kabar dari Kapolres Bekasi. Mereka mendapat laporan bahwa Bapak Harjo, ayah dan suami kalian yang posisinya sebagai warga saya disini, mendapati kecelakaan kerja di Tangerang tadi malam ”
Suara itu terdengar sangat menggelegar di telingaku. Menghancurkan dinding kesabaranku. Menumpahkan bah di kelopak mataku. Menghambat denyut nadi ku. Mengunci mulut ku. Apa yang terjadi????
“Innalillahiwainnailairojiun....apa yang terjadi, Pak?”, sontak ibu memecahkan tangis yang tak mampu terbendung dengan kata-kata.
“Sabar, Mbak. Kuatkan hati kalian. Yang harus kita lakukan adalah bersegera mengurus jenazah. Saat ini almarhum masih di Rumah Sakit Medika I Bekasi. Hari ini, sudah selesai diautopsi”, jelasnya.
“Apa, Pak? Jenazah? Ya Allah....apa yang terjadi...”
“Iya. Almarhum mengalami kecelakaan kerja saat membangun apartemen disana. Dia menjadi salah satu korban dari tiga korban lainnya sesama kuli bangunan. Kami selaku aparat desa siap membantu segala keperluan menyangkut pemakaman”
Aku sudah tak mampu membendung panas di mata. Tangis pun terpecah di rumah ini. Ayah...berhari-hari kau meninggalkan kami untuk membuktikan kesetiaanmu pada kami. Betapa besarnya pengorbananmu...hingga kau rela melakukan sesuatu yang sama sekali tak pernah kau lakukan. Hanya demi membuktikan bahwa kau ayah yang bertanggungjawab... Ayah...maafkan aku...
Aku dan ibuku bergegas mengurus jenazah ayah untuk dikebumikan di kampung halaman. Ayah sering berpesan ingin mengakhiri masa senjanya di kampung halaman. Seluruh keluargapun tak mempercayai bahwa kepergiannya secepat ini.

ᴥᴥᴥ

Setelah kepergiannya, aku sering menyempatkan waktu ku untuk berlama-lama disamping pusara ayah. Semasa hidupnya, dia terlalu sering merasakan pahitnya kehidupan. Dia banyak meninggalkan pelajaran yang tak pernah ia ajarkan lewat mulutnya. Walaupun dia seorang temprament, dialah yang berjasa membentuk kepribadianku saat ini. Dialah yang mendidik kesabaranku, menguji keikhlasanku, membesarkan hatiku, dan mengukuhkan kekuatanku.

Mentari, tak mampu mengalahkan sinar semangat hidupmu
Meneguhkan setiap insan yang lalai oleh denting waktu
Berjalan penuh keangkuhan
Namun,
Tunduklah dia pada hakikat Tuhan
Alangkah sombongnya raga ini
Kala terpaan badai mengguncang kesabaran
Kau balas dengan dentuman merapi
Kilat menyambar kau anggap motivasi
Luka di hati kau rasa bagai bejana
Kini, harum itu mulai semerbak
Cinta kasih terlukis nyata
Dalam kenang...
Kau tetap yang nomor satu
Wahai kau...Ayahnda ku





Sembung, 9 Oktober 2011
signature

0 komentar:

Posting Komentar

newer post older post Home