Sore itu
suasana hiruk pikuk terjadi di Lapangan sepak bola Dlimas. Ya, kesebelasan
kelas XI IPS kalah. Kelasku mememenangkan pertandingan sesi ini dengan skor 1-0
mengalahkan XI IPS. Senang, terharu, bahagia, tapi…tidak ketinggalan aku juga
bingung.
“Pip, kamu ada yang mau njemput nggak?”,
tanyaku pada Afifah, teman satu kelas dan dan satu desaku.
“Enggak ada Fat, kamu ada nggak?”,
tanyanya padaku.
“Enggak ada juga, terus kita gimana
pulangnya?.”
“Duh…gimana ya? Coba kamu sms kakak kamu atau gimana. Kan disini nggak
ada angkot, kau mau jalan kaki?”
“Ya enggak lah. Gimana aku mau sms kakak aku, HP aja aku yang bawa.”
“Terus gimana?”
“Ya udah, kita jalan kaki sampai jalan raya dulu. Siapa tahu nanti ada
yang ngajak pulang bareng.”
“Oke, lah.”
Lokasi lapangan yang jauh dari jalan raya, membuat aku dan temanku
kebingungan pulang kerumah. Lokasi rumah yang berjarak 20 KM dari lapangan memaksa
otakku berputar mencari jalan keluar menuju rumah. Dan ternyata…
“Duh…hujan, Fat”, teriak Afifah ditengah jalan.
“Iya, aku tahu. Siapa juga yang bilang panas. Jam segini juga mana ada
terik matahari muncul”, jawabku kesal.
“Yah…sudah jam setengah enam, Fat. Gimana, nih…”
“Ya enggak gimana-gimana, emang mau gimana lagi?”
“ya, gimana lah. Lari aja yux?”
“Ayuk‼!”
Sore itu malang sekali nasibku. Sudah jatuh, tertimpa tangga, digigit
anjing pula. Bagaimana tidak, ditengah kegalauanku, sandalku…oh, sandalku…
“Pipah…”, teriakku tiba-tiba.
“Ada apa, Fat?.”
“Sendalku cedot, ha…”
“Hahahaha…”, tertawanya puas sekali.
“Sial banget sih, aku.”
“Sabar, Fat…”, dengan sabar temanku meredakan emosiku.
Belum lima menit, emosiku turun dari ubun-ubun, tiba-tiba mobil sedan
lewat dan meyipratkan air ke tubuh kita berdua. Tanpa permisi, tubuh pakaian
kita basah kuyup.
“Fatimah…! Tidak…”, teriaknya.
“Apa, Pip? Hahahaha…”
“Ya Tuhan… Mimpi apa aku semalam?”, sontak dia matanya memerah.
“Sabar, Pip… Enggak perlu nangis seperti itu”, gantian aku yang mencoba
meredakan luapan amarahnya.
Alhamdulillah, setelah cobaan bertubi-tubi menimpa kita, HP-ku
berbunyi. Pesan singkat masuk dari teman SMP-ku dulu, yang tadi sempat ketemu
dilapangan.
“Fat, km dmn? Udah nympe humz blm? Tadi q liat km jalan kaki am Afifah
ya?”, isi pesan singkat tersebut.
Hatiku berdebar saat membaca sms itu. Karena memang akhir-akhir ini ada
perasaan yang lebih dari sekedar teman antara aku dan temanku itu, Taufik.
“Alhamdulillah, Pip. Taufik sms. Dia nanyain aku.”
“Ya udah, to. Minta jemput sama dia aja.”
“Em…tapi, gimana ya? Aku enggak enak sama dia.”
“Alah. Enggak usah memakai perasaan, gunakan logika aja. Mana mungkin
jam segini ada angkutan umum lewat”, paksa dia.
“Ya udah, aku coba sms dia.”
Segera aku membalas pesan singkat temanku itu.
“Blm nih, masih d Petamanan. Qta ga ad yg jemput. Km lg sibuk ga?”,
isi balasanku.
Tak ada dua menit, dia membalas pesan singkatku lagi.
“Ya udah, q ksana. Km tunggu d pertigaan aj, jgn kmn2 ya. Ga lama
kok”
Serasa terbang diangkasa saat aku membaca jejeran huruf di telepon
genggamku.
“Yes! Kita enggak jadi terlantar, Pip. Taufik mau jemput kita, bentar
lagi. Hehehe…”
“Huft…Alhamdulillah, deh.”
“Iya, aku juga seneng. Apalagi…”
“Yang jemput Taufik. Cie…yang lagi jatuh cintrong nih ye…”
“Ih, kamu apaan sih, Pip.”
“Hahaha…”
Berselang tidak ada sepuluh menit, suaraklakson motor mengejutkan kita.
Iya, dia datang dengan senyuman keikhlasan.
“Ya Tuhan. Kenapa kalian basah kuyup seperti ini? Sandalmu kenapa,
Fat?”, tanya Taufik dengan khawatir.
“Hehe, copot sandalku”, dengan malu-malu aku menjawab apa adanya.
“Ya udah, ayuk cepetan. Nanti keburu masuk angin”, ajaknya tanpa
ragu-ragu.
“Ayuk. Ayo Fat, cepetan”, ajak Afifah dengan kesan girang dan
terburu-buru.
“Iya, sabar kenapa”, jawabku.
Dengan ragu-ragu aku membonceng ditengah antara Taufik dan Afifah.
Keheningan selama diperjalanan dipecahkan oleh Taufik.
“Kalau mau pegangan, pegangan aku saja, Fat. Nggak usah ragu-ragu.”
Berdebar hatiku mendengar perkataannya padaku.
“Iya, terimakasih. Maaf ya, kita berdua jadi ngerepotin kamu.
Malam-malam jadi ikut hujan-hujanan seperti ini.”
“Nggak apa-apa, kok. Ini gunanya, pertemanan. Menolong saat lainnya
kesusahan dan melengkapi saat temannya kekurangan. Iya, kan?.”
“Iya. Terimakasih banyak buat semuanya.”
“Iya, sama-sama. Semoga dengan seperti ini bisa menambah baik hubungan
kita. Iya nggak, Pip?”
“Iya, Fik. Bener banget”, sahut Afifah.
Ternyata seperti inilah manisnya sebuah pertemuan yang berlanjut pada
perkenalan dan disahkan dengan pertemanan. Menolong dikala teman merasa susah,
memperhatikan disaat teman lalai, dan melengkapi dikala teman kekurangan. Dan
disaat semua itu dilakukan tanpa pamrih, maka tentu semua itu akan berbuah pada
cinta dan kasih sayang.
Diambil dari kisah 3,5 tahun silam…
0 komentar:
Posting Komentar