A.
Pendahuluan
Nikah menurut Syara’ adalah akad serah terima antara laki-laki dan
perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk
membentuk bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera. Sedangkan
dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Bab. 1 Pasal 1 disebutkan bahwa:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[1]
Apabila akad nikah telah berlagsung dan memenuhi syarat rukunnya,
maka menimbulkan akibat hukum. Dengan
demikian, akad tersebut menimbulkan juga hak serta kewajibannya selaku suami
istri dalam keluarga.[2]
Dijelaskan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa pengertian “suami” adalah
Kepala Keluarga dan “istri” adalah ibu rumah tangga. Dapat dianalogikan bahwa
suami adalah seorang yang berjenis kelamin laki-laki yang menjadi kepala
keluarga dalam suatu rumah tangga. Sedangkan istri adalah seorang yang berjenis
kelamin perempuan yang menjadi ibu rumah tangga dalam suatu rumah tangga.
Pengertian hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang
harus dikerjakan kewajiban.
Dalam memakhai Dalam makalah ini akan membahas mengenai beberapa Hak
Dan Kewajian Suami-Istri dalam berkeluarga.
B.
Rumusan Masalah
1.
Hak dan Kewajiban Suami Istri
Menurut UU No. 1 Tahun 1974
2.
Hak dan Kewajiban Suami Istri
Menurut Kompilasi Hukum Islam
3.
Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam
Perspektif Gender
4.
Hak dan Kewajiban Suami Istri
C.
Pembahasan
1.
Hak dan Kewajiban Suami Istri
Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Dijelaskan dalam BAB IV dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai Hak dan Kewajiban Suami-Istri yang
terdiri dari 5
pasal yaitu:
Pasal 30
Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah Kepala Keluarga dan istri ibu rumah tangga.
Pasal 32
(1) Suami-istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini
ditentukan oleh suami-istri bersama.
Pasal 33
Suami istri wajib saling saling cinta mencintai, hormat
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
(1) Suami wajib
melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Istri wajib mengatur
urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami
atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan
kepada Pengadilan.[3]
2.
Hak dan Kewajiban Suami Istri
Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), kewajiban suami-istri dibagi
menjadi:
a. Kewajiban suami
Pasal
80 Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang
kewajiban suami terhadap istri dan keluarganya. Pasal ini terdiri dari 7 ayat,
sebagai berikut :
(1)
Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan
tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan
oleh suami istri bersama.
(2)
Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berrumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(3)
Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan
bangsa.
(4)
Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
(a)
Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri
(b)
Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri
dan anak
(c)
Biaya pendidikan anak
(5)
Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf
a dan b di atas berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
(6)
Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana
tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
(7)
Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz (Kedurhakaan istri kepada suami dalam
hal ketaatan kepada Allah[4]).
Tentang
kewajiban suami untuk menyediakan tempat kediaman, kompilasi mengaturnya
tersendiri dalam pasal 81 sebagai berikut :
(1)
Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anakanaknya atau
bekas istri yang masih dalam iddah.
(2)
Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama
dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3)
Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anakanaknya dari
gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram, tempat kediaman
juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata
dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4)
Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuan
serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat
perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
b. Kewajiban istri
Adapun kewajiban istri terhadap suami yang secara garis besar terdapat
dalam Kompilasi Hukum Islam diatur secara lebih rinci dalam pasal 83 dan 84.
Pasal
83 :
(1)
Kewajiban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir dan batin kepada
suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
(2)
Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari
dengan sebaik-baiknya.
Pasal 84 :
(1)
Istri dapat dianggap nusyuz
jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.
(2)
Selama istri dalam nusyuz,
kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b
tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
(3)
Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali sesudah
istri tidak nusyuz.
(4)
Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan bukti yang sah.
c.
Kewajiban bersama antar suami istri
Masalah hak dan
kewajiban suami istri dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Bab XII pasal 77
sampai pasal 84.
Pasal 77 ayat (1) berbunyi : "Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah yang menjadi sendi
dasar dari susunan mayarakat".
Pasal
77 ayat (2), (3), (4), (5)
berturut-turut dikutip dibawah ini:
Suami
istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik
mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasannya, dan pendidikan agamanya.
Suami
istri wajib memelihara keharmonisannya. Jika suami/istri melalaikan
kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan agama.
Pasal
79 :
(1)
Suami adalah kepala rumah tangga keluarga dan istri ibu rumah tangga.
(2)
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(3)
Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.[5]
3.
Isu Gender dalam Hak dan Kewajiban
Suami Istri
a.
Penghambaan Istri pada Suami
Persoalan sujud perempuan terhadap suaminya
selalu dikaitkan dengan konsep ketaatan dan seringkali dihubungkan dengan dalil
Al-Qur’an terutama QS. An-nisa : 34, dalam hal ini pandangan Amina Wadud kata
Qanata beserta derivasinya termasuk sifat-sifat yang dipergunakan al-Qur’an
untuk menyampaikan pesan-pesan moral, dalam konteks keseluruhan al-Qur’an kata
ini biasanya digunakan untuk laki-laki maupun perempuan, untuk menyebut
karakteristik atau kepribadian orang-orang yang beriman kepada Allah, yaitu
taat kepada-Nya. Bukan menunjukkan ketaatan perempuan pada suaminya atau
terhadap suaminya. Kesalahpahaman memahami hadits ini bermula dari adanya
penggesaran tujuan mukhatab atau sasarannya, yang berdasarkan latar belakangnya
ditujukan untuk mereka yang menyembah sesama, tetapi dialihkan pada persoalan
relasi suami istri yang sangat hirarkhis.
b. Kosep Nafkah dalam Hadits.
Berbagai versi Hadits menujukkan adanya hak
dan kewajiban dalam kehidupan rumah tangga. Suami berkewajiban memberikan
nafkah kepada istrinya dengan redaksi bermacam-macam namun pada intinya yakni
pergaulan yang baik antara suami dan istri dalam rumah tangga. Nafkah merupakan
pemberian suami atas istri, ia adalah hak istri dan merupakan kewajiban suami
atas istrinya, perkawinan merupakan salah satu sebab adanya nafkah dalam
kehidupan rumah tangga. Kewajiban tersebut tetap melekat pada suami, apabila
istri bekerja maka hasil yang didapatkan merupakan hak istri, kecuali jika ada
kesepakatan antara mereka berdua.
Dalam konteks sekarang, masalah nafkah
banyak dipersoalkan dalam kehidupan rumah tangga manakala nafkah dijadikan
tameng adanya kekerasan dalam rumah tangga. Seharusnya ada komunikasi diantara
mereka berdua, nafkah pada dasarnya memang tanggung jawab suami, namun jika
keadaan berkata lain maka tentu kewajiban tersebut tidak dapat dipaksakan
dengan sendirinya.
c.
Otonomi Perempuan Dalam Beribadah
Islam secara ideal membuka kesempatan dan
peran yang sama laki-laki dan perempuan untuk berprestasi dalam berbagai bidang
lapangan kehidupan. Salah satu pemahaman hadits nabi dari pandangan patriarkhi
adalah seorang perempuan muslimah tidak diperkenankan puasa sunah tanpa izin
suaminya.
Pemahaman seperti ini bertentangan dengan prinip otonomi yang dimiliki seorang perempuan dapat melakukan ibadah apapun tanpa izin dari orang lain, bahkan dari suaminya. Berdasarkan pemahaman ini mayoritas ulama klasik berpendapat bahwa ketika suami ada dirumah haram hukumnya seorang istri berpuasa sunah. Nilai puasa yang semula berpahala menjadi berdosa ini karena jika istri berpuasa sunah dipandang telah membiarkan suaminya tanpa diberi hak “pelayanan”. Berkenaan dengan hal ini apakah seorang istri ketika ingin melakukan kebaikan masih memerlukan izin suaminya. Bukankah dengan hak otonominya seorrang istri dapat melakukan kebaikan apapun sepanjang tidak merugikan orang lain.
Pemahaman seperti ini bertentangan dengan prinip otonomi yang dimiliki seorang perempuan dapat melakukan ibadah apapun tanpa izin dari orang lain, bahkan dari suaminya. Berdasarkan pemahaman ini mayoritas ulama klasik berpendapat bahwa ketika suami ada dirumah haram hukumnya seorang istri berpuasa sunah. Nilai puasa yang semula berpahala menjadi berdosa ini karena jika istri berpuasa sunah dipandang telah membiarkan suaminya tanpa diberi hak “pelayanan”. Berkenaan dengan hal ini apakah seorang istri ketika ingin melakukan kebaikan masih memerlukan izin suaminya. Bukankah dengan hak otonominya seorrang istri dapat melakukan kebaikan apapun sepanjang tidak merugikan orang lain.
d.
Istri Dilarang Bermuka Masam di depan suami
Hadits tentang bermuka masam ini sesungguhnya
hanya dijawab terhadap suatu kasus tertentu. Yang boleh jadi istrinya cemberut
terus-menerus didepan suaminya, dan kemudian suaminya mengadu kepada
Rasulullah. Sesungguhnya istri dianjurkan untuk senantiasa menyenangkan suami,
dan pada prinsipnya sama dengan anjuran agar suami juga senantiasa
menyenangakan istri (al-nisa :19). Artinya saling menyenangkan. Tapi faktanya
hadits untuk menyenagkan suami lebih mendapat penekanan dan perhatian, bahkan
berkesan memaksakan.
e.
Istri Dilarang Meminta Cerai Kepada Suami
Larangan istri meminta cerai hanya berlaku
jika permintaan cerai itu dilakukan tanpa ada alasan yang dibenarkan syar’I.
Menurut Sayyid-as Sabiq, ada dua alasan istri boleh menuntut cerai kapada
suaminya, yaitu ‘uyub al-khalqiyyah (cacat
tubuh) dan su’u al-khuluqiyyah (cacat
moral). Adapun cerai khulu (cerai tebus) bentuk penghargaan Islam terhadap kaum
perempuan, Karena pada zaman zahiliyah perempuan tidak punya hak menuntut
mecerai kepada suaminya, kecuali wanita tertentu saja.
f.
Intervensi Malaikat Dalam Hubungan Seksual
Hadits yang menyatakan istri akan dilaknat
malaikat jika ia menolak atau menghindar bila diajak berhubungan seksual dengan
suaminya atau meninggalkan tempat tidur suaminya, mempunyai sanad yang sahih.
Tapi secara harfiah matan hadits dipahami secara secara tekstual bertentangan
dengan semangat Al-Qur’an. Hadits tentang intervensi dalam hubungan seksual ada
kaitannya dengan kondisi sosio-historis dan cultural yaitu budaya pantang
ghilah yang ada dikalangan bangsa arab sebelum itu. Ghilah adalah bersetubuh
dengan istri yang sedang hamil atau menyesui, karena dikhawatirkan akan
menimbulkan hal buruk terhadap anak yang akan di lahirkan. [6]
4.
Hak dan Kewajiban Suami-Istri
a)
Hak Bersama Suami-Istri
Hak dan tanggung jawab suami istri antara lain, yaitu:
· Suami dan istri
dihalalkan mengadakan hubungan seksual
· Haram melakukan
pernikahan, artinya baik suami maupun istri tidak bolehmelakukan pernikahan
dengan saudaranya masing-masing
· Saling mewarisi
apabila salah seorang diantara keduanya telah meninggal, meskipun belum
bersetubuh
· Anak mempunyai
nasab yang jelas
· Kedua belah
pihak wajib bertingkah laku dengan baik sehingga dapat melahirkan kemesraan
dalam kedamaian hidup.
Dalam
kehidupan berumah tangga, seorang suami istri harus saling hormat menghormati,
kasih-memengasihi, bantu-membantu, take
and give(memberi dan menerima), saling
pengertian, dan tidak boleh egoistis atau mau menang sendiri.[7]
b)
Kewajiban Suami-Istri
Dalam Kompilasi Hukum Islam
disebutkan bahwa kewajiban suami istri secara rinci adalh sebagai berikutt:
· Suami istri
memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari
sususnan masyarakat
· Suami istri
wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan wajib memberi bantuan lahir
batin
· Suami istri
memikul kewajibanuntuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasannya, serta pendidikan agamanya
· Suami istri
wajib memelihara kehormatannya
· Jika suami atau
istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Agama.[8]
c)
Hak dan Kewajiban Suami Terhadap
Istri
a)
Hak Suami Atas Istri
Dibawah ini beberapa hak
suami atas istrinya yang paling pokok, yaitu:
· Ditaati dalam
hal-hal yang bukan maksiat
· Istri menjaga
dirinya sendiri dan harta suami
· Menjauhkan diri
dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami
· Tidak bermuka
masam dihadapan suami
· Tidak
menunjukkan keadaan yang tidak disenangi suami[9]
Hak suami terhadap istrinya begitu besar. Dalam suatu hadis yang
diriwayatkan oleh Hakim yang artinya, “Dari
Aisyah, ia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah SAW. Siapakah orang yang
paling besar haknya terhadap perempuan? Jawabnya: “Suaminya”. Lalu saya
bertanya, “siapakah haknya yang paling besar terhadap laki-laki?”. Jawabnya:
“Ibunya”.
Kewajiban taat kepada hanya diperbolehkan dalam hal-hal yang
dibenarkan oleh agama, bukan dalam hal kemaksiatan kepada Allah SWT. Apabila
suami memerintahkan istri untuk berbuat maksiat, maka ia harus menolaknya.
Diantara ketaatan suami terhadap istri adalah tidak keluar rumah kecuali dengan
izin suaminya.
Jadi, apapun yang dilakukan istri selian melaksanakan kewajiban
kepada Allah SWT. adalah atas seizin suaminya. Diriwayatkan dalam suatu hadits
yang artinya, “Dari Abdullah bin Umar ra. Ssungguhnya Rasulullah SAW. bersabda,
“Hak suami terhadap istrinya adalah tidak menghalangi permintaan suaminya
kepadanya sekalipun sedang diatas punggung unta, tidak berpuasa (sunah)
walaupun sehari saja, kecuali dengan izinnya dan puasa wajib. Ia tidak boleh
memberikan sesuatu dari rumahnya, kecuali dengan izin suaminya. Jika ia
memberinya maka pahalanya bagi suaminya dan dosanya untuk dirinya sendiri. Ia
tidak keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Jika ia berbuat
demikian, maka Allah akan melaknatnya dan para malaikat memarahinya sampai
tobat dan pulang kembali sekalipun suaminya itu zalim.”(HR. Dawud)
Dalam Al-Qur’an QS. An-Nisa’: 34 dijelaskan mengenai salah satu
ciri istri yang salihah, yaitu yang mampu menjaga dirinya, baik ketika berada
didepan maupun dibelakang suaminya. “Sebab itu maka wanita yang salih, ialah yang
taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suminya tidak ada, oleh karena
Allah telah memelihara. ” kewajiban tertinggi bagi seorang istri terhadap
suami, dijelaskan dalam ayat diatas yaitu menjaga dirinya ketika suaminya tidak
ada dan tidak berbuat khianat kepadanya, baik mengenai diri maupun harta
bendanya.
b)
Kewajiban Suami Terhadap Istri
Kewajiban suami terhadap istri mencakup kewajiiban materi berupa
kebendaan dan kewajiban nonmateri yang bukan berupa kebendaan.
· Kewajiban
materi berupa kebendaan
Sesuai dengan penghasilannya, suami mempunyai kewajiban terhadap
istri:
-
Memberi nafkah, pakaian, dan tempat tinggal
-
Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi
istri dan anak
-
Biaya pendidikan bagi anak
Dua
kewajiban pertama diatas berlaku sesudah ada tamkin (yaitu istri mematuhi suami khususnya
ketika suami ingin menggaulinya). Disamping itu, nafkah bisa gugur apabila
istri nusyuz.
d)
Kewajiban Istri Terhadap Suami
Diantaranya adalah sebagai berikut:
a)
Taat dan patuh kepada suami
b)
Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman
c)
Mengatur rumah tangga dengan baik
d)
Menghormati keluarga suami
e)
Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami
f)
Tidak mempersulit suami, dan selalau mendorong suami untuk maju
g)
Rida dan syukur terhadap apa yang diberikan suami
h)
Selalu berhemat dan suka menabung
i)
Selalu berhias, bersolek untuk atau dihadapan suami
j)
Jangan selalu cemburu buta
D.
Kesimpulan
Kehidupan berkeluarga yang sakinah,
mawadah, warahmah seringkali didambakan setiap pasangan muslim.
Kebahagiaan, ketenangan, dan ketenteraman hidup berumah tangga akan terwujud
apabila antara suami dan istri sama-sama menjalankan tanggungjawabnya
masing-masing.
Dari keempat macam Hak dan Kewajiban suami Istri diatas, tidak ada
penyimpangan gender didalamnya apabila semua hak dan kewajiban tersebut
dilaksanakan dengan baik dan penuh kesadaran oleh pasangan suami-istri.
Ketimpangan gender bisa terjadi apabila tidak adanya kerjasama yang baik antara
suami istri.
Hak dan kewajiban suami istri tidak boleh berat sebelah, atau
terjadi ketimpangan gender. Mematuhi dan menaati suami tidaklah bearti suami
berhak semena-mena dengan istri. Begitu juga dengan seorang istri, dengan
adanya hak istri tidak boleh menjadikan istri menjajah suami.
Daftar Pustaka
Http://saidahalgazali.blogspot.com/2011/01/isu-gender-pada-hak-dan-kewajiban-suami.html
Tihami
& Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat(Kajian Fikih Nikah Lengkap), Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
[1]Tihami & Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat(Kajian Fikih Nikah Lengkap), (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Cet:
I, Hal. 8
[4]http://saidahalgazali.blogspot.com/2011/01/isu-gender-pada-hak-dan-kewajiban-suami.html
[7] Tihami & Sohari Sahrani. Loc.Cit. Hal. 154-157
[9]Tihami & Sohari Sahrani. Loc.Cit.. Hal. 158
0 komentar:
Posting Komentar