Ulat
Bulu Pak Lurah
Oleh:
Nur Fatimah
Lesung sudah beradu dengan palu. Sesekali
terdengar alunan merdu. Lebih merdu bila dilengkapi syair kemakmuran,
seharusnya. Tentu pagi buta ini jadi lebih indah. Dua menit lima menit
masihlah, kudapati kemerduan dari padu padan biji beras yang mulai lepas dari
busananya. Namun sayang, itu tak lama. Kini syair berwujud angkara. Melukiskan
garangnya perut-perut lapar. Dan alunan itu berubah memekikkan telinga.
Menyayat setiap hati yang mendengar bunyi kemiskinan.
“Mak,
Didin lapar. Kok, putih-putihnya belum kelihatan sih, Mak.” Perut mungil
itu nampaknya mulai protes. Melaporkan bahwa tak ada lagi yang bisa dikerjakan
lambung. Hanya gerakan sia-sia. Ya, tak ada yang bisa diremas sejak kemarin.
“Sabar tho, Le.
Makmu juga udah sekuat tenaga ini.” Sang ibu mencoba tenangkan anaknya yang
mulai rewel.
“Perut Didin udah krucuk-krucuk. Cepet,
Mak!”
“Kamu ini, hlo. Mak juga lapar. Ribut
aja dari tadi. Nggak tak kasih makan baru tahu rasa kamu!”
Seketika anak itu lari menyambangi sungai
kecil. Ikut membasahi rerumputan dengan tangisan sumbang. Tangisan pertanda
peliknya masalah kehidupan. Tapi masih ada yang bisa disyukuri. Masih ada
hamparan sawah hijau yang bisa dinikmati. Seraya berharap seketika itu makanan
tersaji didepannya. Ia hanya bisa merebahkan rasa laparnya pada batang pohon
beringin yang basah. Ya, basah karena guyuran nikmat Tuhan semalam. Tak sadar
ia tertidur dalam rebahannya.
***
Didin merasa dirinya berada di dunia lain. Ia
mendapati sinar matahari dari sela-sela jendela kamarnya. Tapi tak berwarna
kuning. Ia tak percaya, sinar matahari berubah menjadi biru. Terangnya dunia
ini sungguh tiada tara. Sesaat cahaya itu sempat menyilaukan mata, tapi dalam
lima kerdipan mata saja, ia merasa biasa saja. Tak ada bedanya dengan warna
kuning.
Belum tegak ia beranjak dari tempat tidur,
seseorang mengetuk pintu. Tanpa ia persilahkan masuk, orang itu langsung
nyelonong menemuinya. Tunggu dulu. Orang? Bukan, deh. Didin melihat
sosok itu seperti tokoh yang ada
di komik kesukaannya sewaktu ia baca di Perpustakaan Keliling (Perpusling).
“Kok, seperti Alien ya?,” protesnya
dalam hati. Entah Didin menyebutnya apa. Yang jelas ia melihatnya sama persis
di komik itu. Ia tak henti-hentinya memerhatikan makhluk itu dari atas sampai
bawah. Tubuhnya mungil, gendut, orang desa menyebutnya dengan istilah benthek.
Tapi, tak ada daun telinganya. Rambutnya juga merah menyala. Persis seperti
kobaran api di tungku Mak’e. Jarinya sangat panjang, lebih panjang dari
lengannya.
“Hlo? Jari-jari kakinya mana?!” Tak
sadar tiba-tiba ia melontarkan kata-kata itu keras. Hampir berteriak.
“Bos Wah ini ngomong apa, sih? Buruan
mandi. Agenda kita hari ini padat. Nanti pakai baju ini aja ya. Warna putih
lebih cocok di pakai di hari yang muram ini. Ok, Let’s go!”
Ternyata makhluk itu berbahasa sama dengannya.
Syukurlah. Tapi, kembali ia memerhatikan ujung kaki sosok yang dari tadi
berdiri di depannya. Ia tak mendapati jari, tapi lebih seperti roda. Ya, ia
ingat. Mirip dengan roda rak pakaiannya. Ia mencari disekelilingnya. Tak ada.
“Hello! Ngelamun aja nih si Bos
dari tadi. Ngelihatin apa sih?”
“Oh. Itu. Apa. Emm... Oke. Saya mandi.
Tapi, serius ini baju saya?”
“Ya serius lah, Bos. Emang baju siapa
lagi? Buruan gih. Yang lain udah nunggu.”
“Mau kemana?”
“Bos... Kamu kesambet apa, sih? Ya
kampanye, lah. Ngapain lagi? Pencoblosan udah tinggal ngitung pake jari.
Nih, satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan. Buruan!”
“Oh. Ya. Aku mandi.”
Didin merasa semakin gila. Cuaca terang atau
kelewat terang, makhluk itu bilang muram. Baju merah, dibilang putih. Jari
kaki, jadi roda. Jari tangan juga ada delapan. Bos? Ia baru sadar dari tadi di
panggil “Bos”. Bos dari mana, orang dia cuma anak-anak, pikirnya.
“Tuhan... Apa-apaan ini?” Perlahan ia beranjak
mendekati cermin. Memastikan dirinya tak berubah menjadi orang lain. Benar
saja. Ia berbeda. Perutnya tak lagi lapar. Tubuhnya besar dan kekar. Kulitnya
hitam pekat. Rambutnya ikal, panjang, dan entah siapa yang menyematkan ikat
rambut disana.
“Syukurlah. Aku masih normal. Aku punya jari
kaki. Jari tanganku sepuluh tubuhku... Bukankah aku anak-anak? Kenapa sekarang
aku lebih mirip dengan bapak-bapak? Siapa ini? Bapakku kah?” Ia pingsan.
***
“Bos? Baik-baik saja?” Tanya makhluk tadi.
“Ha? Aku...baik-baik saja.” Ia kaget. Seketika
ia berada ditengah kerumunan banyak orang. Dengan bentuk dan warna kulit
berbeda-beda. Merah, hijau, kuning, coklat, hitam, hampir semua warna ada.
Tapi, tak ada satupun yang mirip dengan warna kulitnya. Sorot matanya
berkeliling dan berhenti di satu spanduk. Luas sekali. Seluas lapangan di
Simpang Lima Semarang. Terpampang nyata wajahnya dan tertulis WAHYUDIN.
“Itu namaku!”
“Itu memang namamu, Bos. Siapa lagi?” jelas
salah satu makhluk di sampingnya.
“Bos kenapa sih, dari tadi aneh.”
“Kamu kasih makan apa kemarin, Rul!?” Tanya
salah satu makhluk berkulit biru.
“Tau tuh, Sawitri.” Jawab makhluk
berkulit kuning, yang ternyata namanya Asrul.
“Makanan biasanya, kok.”
“Oh... Jadi, kamu Sawitri, kamu Rul siapa?”
Tanya Didin.
“Asrul. Kenapa?”
“Tidak. Memastikan saja.” Didin agak
ketakutan. Semua suara makhluk disekelilingnya memekikkan telinga. Singkat, ia
mengambil keputusan untuk mengikuti adegan ini. Tak tahu, entah muaranya
dimana. Entah kapan berakhirnya.
***
Arak-arakan dimulai. Menurutku ini bukan pawai
atau kampanye. Aku yang katanya calon Kepala Desa Antah Berantah hanya duduk
dan diam di singgasana yang sengaja dibuat di atas mobil pick up. Tak
ada yang diserukan. Hanya pembagian rupiah saja. Nilai yang cukup fantastis.
Seratus ribu rupiah. Kalau dikasihkan ibu tentu sangat senang. Ia bisa membeli
satu ton beras. Buat makan pastinya. Dan tentu ia tak akan kelaparan.
“Mak! Mak’e dimana!?” Teriaknya histeris.
“Ada apa Bos? Mak’e? Mak’e apa?” Sahut
Sawitri.
“Mak’e. Ibuku. Aku kangen Mak’e. Mak... Kamu
dimana?”
“Ih. Bos udah gila ya. Mana ada Mak’e.
Udah ah. Main-mainnya nggak usah diterusin. Kelewatan nih si
Bos.”
Didin diam. Dia berfikir kenapa semua orang
aneh. Dia memerhatikan dengan betul orang-orang disepanjang jalan. Mereka siap
menerima lembaran rupiah itu. Kurus-kurus. Tapi, hampir semua wujud mereka
mirip dengannya. Mobil berhenti. Saat itu juga pandanagn Didin terfokus pada
sosok nenek tua renta. Ia merasa tak asing dengannya. Tak perlu menunggu
komando ia melompat dari singgasana.
“Siapa kamu?!”. Didin bingung. Kenapa
pertanyaan itu yang terlontar dari mulutnya.
“Tumirah, Tuan. Ampuni saya Tuan. Saya tidak
macam-macam. Rumah saya diujung jalan sana Tuan. Tepat sebelah sungai.” Jawab
nenek itu dengan ketakutan.
Didin semakin kebingungan. Kenapa dia berubah
menjadi garang. Dia takut api kembali keluar dari mulut naganya. Buru-buru ia
naik kembali ke singgasana.
***
Untung Marwadi, calon
lurah nomor 2. Gerah dengan aksi WAHYUDI. Ia dan tim suksesnya berencana
mengadakan kampanye dengan menggelar orkes dangdut dan wayang kulit di
lapangan. Gayuh Utari, Calon Lurah nomor urut 3, mendengar kabar
strategi kampanye Untung dan Wahyudi. Ia merasa geli dan meremehkan strategi
mereka.
Orkes dangdut
berlangsung, dan tampak disebelahnya panggung wayang kulit yang masih kosong
belum ada alat-alat wayang. Tampak hadir para warga dan didominasi para pemuda.
Untung sambutan sekaligus membuka acara. Ditengah-tengah acara penonton protes
karena tak ada lembaran rupiah yang diterima. Ia gelagapan dan menjanjikan
setelah acara selesai ia akan membagikan uang. Tak peduli ada adzan, acara
tetap berlangsung, sampai larut malam.
Penonton dari kalangan
usia tua protes. Mereka menagih wayang kulit yang ternyata gagal. Dan serentak
semua penonton kembali menagih rupiah yang Untung janjikan. Ia malah menaggapi
dengan kampanye untuk memilih dirinya sebagai lurah. Penonton marah dan hampir
merusak panggung orkes dangdut. Tim sukses Utari tanggap memanfaatkan
kesempatan dalam kesempitan. Ia naik panggung dan menjelaskan serentetan ocehan
tentang politik, demokrasi, money politic, korupsi dan posisi lurah yang
seharusnya, tanpa memromosikan Utari. Dia hanya berusaha membuka pikiran rakyat
dan membimbing mereka untuk menjustis bahwa strategi Wahyudi dan Untung adalah
kotor dan nantinya berdampak buruk. Susasana seketika menjadi sunyi, diikuti
satu persatu langkah kaki meninggalkan lapangan.
***
Didin ternyata juragan beras. Ia memanfaatkan
hidup rakyat yang bergantung pada berasnya. Siapa yang tak memilih, tak ada
beras baginya seumur hidup. Kejam memang.
Benar saja. Nenek-nenek yang ditemuinya saat
kampanye tempo hari, berseberangan dengannya. Tak ada beras untuknya. Ia tak
mau memilih Lurah dengan kampanye penindasan.
Ajal menghampiri nenek itu. Didin kaget. Batinnya
membawa langkah kakinya untuk mendatangi nenek itu. Ia miris. Tubuhnya
dikerumuni ulat bulu. Hampir menjadi kain kafan baginya.
Entah kenapa. Didin tergerak mengibaskan ulat
yang menutupi wajah nenek itu. Ia kembali histeris. Ia dapati wajah Mak’enya
disana. Seketika sekujur tubuhnya gatal.
Ia pingsan.
***
Didin seolah berada di ambang waktu. Antara
dunia nyata dan alam bawah sadar. Bagai seorang profesor yang meneliti ini itu,
dengan tangkas ia mengartikan apa saja yang baru dialaminya.
Ia mengerti kenapa tak ada daun telinga
singgah disana. Ya. Mereka tak mau mendengar keluh kesah rakyat. Jari panjang?
Tentu. Mengambil bagian yang seharusnya bukan hak mereka. Pendek? Pola pikirnya
sangat sederhana dan egois. Berwarna seperti bunglon? Fleksibel pada siapa saja
yang mereka temui demi melancarkan visi korupsi. Jari tangan delapan? Mereka tak
bisa lengkap menghitung porsi hak dan kewajiban. Kaki beroda? Siap menindas
rakyat dengan halus tanpa bekas tapi bernoda.
Ia belum sempat menyelesaikan teka-tekinya. Seakan
mengiyakan saja. Muncul wajah para para pemerintah desa tepat dipelupuk mata. Ia
merasa tubuhnya mulai mengambang perlahan-lahan, hingga akhirnya lenyap
menyisakan seberkas cahaya.
***
Ia terbangun. Tubuhnya dipenuhi ulat bulu. Ya,
dengan beraneka ukuran dan warna. Sama seperti mimpinya.
“Aaaa... Tidaaakkk!!!” Anak itu nyemplung di sungai.
Teriakannya menyatu dengan riak air yang beradu dengan batu hitam, kuning,
merah, dan putih.
Seketika aku tertawa menyaksikan pemandangan
ini berputar di layar angkasa. Tanpa batas tanpa celah menyusuri perasaan. Seakan
ikut mengiyakan segala yang baru saja aku saksikan.
Batang,
2013