8.3.15

Cerpen: Ulat Bulu Pak Lurah

0 komentar
Ulat Bulu Pak Lurah
Oleh: Nur Fatimah

Lesung sudah beradu dengan palu. Sesekali terdengar alunan merdu. Lebih merdu bila dilengkapi syair kemakmuran, seharusnya. Tentu pagi buta ini jadi lebih indah. Dua menit lima menit masihlah, kudapati kemerduan dari padu padan biji beras yang mulai lepas dari busananya. Namun sayang, itu tak lama. Kini syair berwujud angkara. Melukiskan garangnya perut-perut lapar. Dan alunan itu berubah memekikkan telinga. Menyayat setiap hati yang mendengar bunyi kemiskinan.
“Mak[1], Didin lapar. Kok, putih-putihnya belum kelihatan sih, Mak.” Perut mungil itu nampaknya mulai protes. Melaporkan bahwa tak ada lagi yang bisa dikerjakan lambung. Hanya gerakan sia-sia. Ya, tak ada yang bisa diremas sejak kemarin.
“Sabar tho, Le[2]. Makmu juga udah sekuat tenaga ini.” Sang ibu mencoba tenangkan anaknya yang mulai rewel.
“Perut Didin udah krucuk-krucuk. Cepet, Mak!”
“Kamu ini, hlo. Mak juga lapar. Ribut aja dari tadi. Nggak tak kasih makan baru tahu rasa kamu!”
Seketika anak itu lari menyambangi sungai kecil. Ikut membasahi rerumputan dengan tangisan sumbang. Tangisan pertanda peliknya masalah kehidupan. Tapi masih ada yang bisa disyukuri. Masih ada hamparan sawah hijau yang bisa dinikmati. Seraya berharap seketika itu makanan tersaji didepannya. Ia hanya bisa merebahkan rasa laparnya pada batang pohon beringin yang basah. Ya, basah karena guyuran nikmat Tuhan semalam. Tak sadar ia tertidur dalam rebahannya.
***
Didin merasa dirinya berada di dunia lain. Ia mendapati sinar matahari dari sela-sela jendela kamarnya. Tapi tak berwarna kuning. Ia tak percaya, sinar matahari berubah menjadi biru. Terangnya dunia ini sungguh tiada tara. Sesaat cahaya itu sempat menyilaukan mata, tapi dalam lima kerdipan mata saja, ia merasa biasa saja. Tak ada bedanya dengan warna kuning.
Belum tegak ia beranjak dari tempat tidur, seseorang mengetuk pintu. Tanpa ia persilahkan masuk, orang itu langsung nyelonong menemuinya. Tunggu dulu. Orang? Bukan, deh. Didin melihat sosok itu seperti         tokoh yang ada di komik kesukaannya sewaktu ia baca di Perpustakaan Keliling (Perpusling).
Kok, seperti Alien ya?,” protesnya dalam hati. Entah Didin menyebutnya apa. Yang jelas ia melihatnya sama persis di komik itu. Ia tak henti-hentinya memerhatikan makhluk itu dari atas sampai bawah. Tubuhnya mungil, gendut, orang desa menyebutnya dengan istilah benthek. Tapi, tak ada daun telinganya. Rambutnya juga merah menyala. Persis seperti kobaran api di tungku Mak’e. Jarinya sangat panjang, lebih panjang dari lengannya.
Hlo? Jari-jari kakinya mana?!” Tak sadar tiba-tiba ia melontarkan kata-kata itu keras. Hampir berteriak.
“Bos Wah ini ngomong apa, sih? Buruan mandi. Agenda kita hari ini padat. Nanti pakai baju ini aja ya. Warna putih lebih cocok di pakai di hari yang muram ini. Ok, Let’s go!”
Ternyata makhluk itu berbahasa sama dengannya. Syukurlah. Tapi, kembali ia memerhatikan ujung kaki sosok yang dari tadi berdiri di depannya. Ia tak mendapati jari, tapi lebih seperti roda. Ya, ia ingat. Mirip dengan roda rak pakaiannya. Ia mencari disekelilingnya. Tak ada.
Hello! Ngelamun aja nih si Bos dari tadi. Ngelihatin apa sih?”
“Oh. Itu. Apa. Emm... Oke. Saya mandi. Tapi, serius ini baju saya?”
“Ya serius lah, Bos. Emang baju siapa lagi? Buruan gih. Yang lain udah nunggu.”
“Mau kemana?”
“Bos... Kamu kesambet apa, sih? Ya kampanye, lah. Ngapain lagi? Pencoblosan udah tinggal ngitung pake jari. Nih, satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan. Buruan!”
“Oh. Ya. Aku mandi.”
Didin merasa semakin gila. Cuaca terang atau kelewat terang, makhluk itu bilang muram. Baju merah, dibilang putih. Jari kaki, jadi roda. Jari tangan juga ada delapan. Bos? Ia baru sadar dari tadi di panggil “Bos”. Bos dari mana, orang dia cuma anak-anak, pikirnya. 
“Tuhan... Apa-apaan ini?” Perlahan ia beranjak mendekati cermin. Memastikan dirinya tak berubah menjadi orang lain. Benar saja. Ia berbeda. Perutnya tak lagi lapar. Tubuhnya besar dan kekar. Kulitnya hitam pekat. Rambutnya ikal, panjang, dan entah siapa yang menyematkan ikat rambut disana.
“Syukurlah. Aku masih normal. Aku punya jari kaki. Jari tanganku sepuluh tubuhku... Bukankah aku anak-anak? Kenapa sekarang aku lebih mirip dengan bapak-bapak? Siapa ini? Bapakku kah?” Ia pingsan.
***
“Bos? Baik-baik saja?” Tanya makhluk tadi.
“Ha? Aku...baik-baik saja.” Ia kaget. Seketika ia berada ditengah kerumunan banyak orang. Dengan bentuk dan warna kulit berbeda-beda. Merah, hijau, kuning, coklat, hitam, hampir semua warna ada. Tapi, tak ada satupun yang mirip dengan warna kulitnya. Sorot matanya berkeliling dan berhenti di satu spanduk. Luas sekali. Seluas lapangan di Simpang Lima Semarang. Terpampang nyata wajahnya dan tertulis WAHYUDIN.
“Itu namaku!”
“Itu memang namamu, Bos. Siapa lagi?” jelas salah satu makhluk di sampingnya.
“Bos kenapa sih, dari tadi aneh.”
“Kamu kasih makan apa kemarin, Rul!?” Tanya salah satu makhluk berkulit biru.
“Tau tuh, Sawitri.” Jawab makhluk berkulit kuning, yang ternyata namanya Asrul.
“Makanan biasanya, kok.
“Oh... Jadi, kamu Sawitri, kamu Rul siapa?” Tanya Didin.
“Asrul. Kenapa?”
“Tidak. Memastikan saja.” Didin agak ketakutan. Semua suara makhluk disekelilingnya memekikkan telinga. Singkat, ia mengambil keputusan untuk mengikuti adegan ini. Tak tahu, entah muaranya dimana. Entah kapan berakhirnya. 
***
Arak-arakan dimulai. Menurutku ini bukan pawai atau kampanye. Aku yang katanya calon Kepala Desa Antah Berantah hanya duduk dan diam di singgasana yang sengaja dibuat di atas mobil pick up. Tak ada yang diserukan. Hanya pembagian rupiah saja. Nilai yang cukup fantastis. Seratus ribu rupiah. Kalau dikasihkan ibu tentu sangat senang. Ia bisa membeli satu ton beras. Buat makan pastinya. Dan tentu ia tak akan kelaparan.
“Mak! Mak’e dimana!?” Teriaknya histeris.
“Ada apa Bos? Mak’e? Mak’e apa?” Sahut Sawitri.
“Mak’e. Ibuku. Aku kangen Mak’e. Mak... Kamu dimana?”
Ih. Bos udah gila ya. Mana ada Mak’e. Udah ah. Main-mainnya nggak usah diterusin. Kelewatan nih si Bos.”
Didin diam. Dia berfikir kenapa semua orang aneh. Dia memerhatikan dengan betul orang-orang disepanjang jalan. Mereka siap menerima lembaran rupiah itu. Kurus-kurus. Tapi, hampir semua wujud mereka mirip dengannya. Mobil berhenti. Saat itu juga pandanagn Didin terfokus pada sosok nenek tua renta. Ia merasa tak asing dengannya. Tak perlu menunggu komando ia melompat dari singgasana.
“Siapa kamu?!”. Didin bingung. Kenapa pertanyaan itu yang terlontar dari mulutnya.
“Tumirah, Tuan. Ampuni saya Tuan. Saya tidak macam-macam. Rumah saya diujung jalan sana Tuan. Tepat sebelah sungai.” Jawab nenek itu dengan ketakutan.
Didin semakin kebingungan. Kenapa dia berubah menjadi garang. Dia takut api kembali keluar dari mulut naganya. Buru-buru ia naik kembali ke singgasana.  
***
Untung Marwadi, calon lurah nomor 2. Gerah dengan aksi WAHYUDI. Ia dan tim suksesnya berencana mengadakan kampanye dengan menggelar orkes dangdut dan wayang kulit di lapangan. Gayuh Utari, Calon Lurah nomor urut 3, mendengar kabar strategi kampanye Untung dan Wahyudi. Ia merasa geli dan meremehkan strategi mereka.
Orkes dangdut berlangsung, dan tampak disebelahnya panggung wayang kulit yang masih kosong belum ada alat-alat wayang. Tampak hadir para warga dan didominasi para pemuda. Untung sambutan sekaligus membuka acara. Ditengah-tengah acara penonton protes karena tak ada lembaran rupiah yang diterima. Ia gelagapan dan menjanjikan setelah acara selesai ia akan membagikan uang. Tak peduli ada adzan, acara tetap berlangsung, sampai larut malam.
Penonton dari kalangan usia tua protes. Mereka menagih wayang kulit yang ternyata gagal. Dan serentak semua penonton kembali menagih rupiah yang Untung janjikan. Ia malah menaggapi dengan kampanye untuk memilih dirinya sebagai lurah. Penonton marah dan hampir merusak panggung orkes dangdut. Tim sukses Utari tanggap memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Ia naik panggung dan menjelaskan serentetan ocehan tentang politik, demokrasi, money politic, korupsi dan posisi lurah yang seharusnya, tanpa memromosikan Utari. Dia hanya berusaha membuka pikiran rakyat dan membimbing mereka untuk menjustis bahwa strategi Wahyudi dan Untung adalah kotor dan nantinya berdampak buruk. Susasana seketika menjadi sunyi, diikuti satu persatu langkah kaki meninggalkan lapangan.
***
Didin ternyata juragan beras. Ia memanfaatkan hidup rakyat yang bergantung pada berasnya. Siapa yang tak memilih, tak ada beras baginya seumur hidup. Kejam memang.
Benar saja. Nenek-nenek yang ditemuinya saat kampanye tempo hari, berseberangan dengannya. Tak ada beras untuknya. Ia tak mau memilih Lurah dengan kampanye penindasan.
Ajal menghampiri nenek itu. Didin kaget. Batinnya membawa langkah kakinya untuk mendatangi nenek itu. Ia miris. Tubuhnya dikerumuni ulat bulu. Hampir menjadi kain kafan baginya.
Entah kenapa. Didin tergerak mengibaskan ulat yang menutupi wajah nenek itu. Ia kembali histeris. Ia dapati wajah Mak’enya disana. Seketika  sekujur tubuhnya gatal. Ia pingsan.     
***
Didin seolah berada di ambang waktu. Antara dunia nyata dan alam bawah sadar. Bagai seorang profesor yang meneliti ini itu, dengan tangkas ia mengartikan apa saja yang baru dialaminya.
Ia mengerti kenapa tak ada daun telinga singgah disana. Ya. Mereka tak mau mendengar keluh kesah rakyat. Jari panjang? Tentu. Mengambil bagian yang seharusnya bukan hak mereka. Pendek? Pola pikirnya sangat sederhana dan egois. Berwarna seperti bunglon? Fleksibel pada siapa saja yang mereka temui demi melancarkan visi korupsi. Jari tangan delapan? Mereka tak bisa lengkap menghitung porsi hak dan kewajiban. Kaki beroda? Siap menindas rakyat dengan halus tanpa bekas tapi bernoda.
Ia belum sempat menyelesaikan teka-tekinya. Seakan mengiyakan saja. Muncul wajah para para pemerintah desa tepat dipelupuk mata. Ia merasa tubuhnya mulai mengambang perlahan-lahan, hingga akhirnya lenyap menyisakan seberkas cahaya.
***
Ia terbangun. Tubuhnya dipenuhi ulat bulu. Ya, dengan beraneka ukuran dan warna. Sama seperti mimpinya.
“Aaaa... Tidaaakkk!!!” Anak itu nyemplung di sungai. Teriakannya menyatu dengan riak air yang beradu dengan batu hitam, kuning, merah, dan putih.
Seketika aku tertawa menyaksikan pemandangan ini berputar di layar angkasa. Tanpa batas tanpa celah menyusuri perasaan. Seakan ikut mengiyakan segala yang baru saja aku saksikan.






Batang, 2013



[1] Mak’e. Panggilan anak pada ibunya. Biasanya oleh anak-anak di desa.
[2] Tole. Panggilan ibu pada anak laki-lakinya.

newer post
newer post older post Home