18.12.12

Tentang Bulan



Wajahnya manis sekali. Lesung pipinya mengalihkan setiap pandangan yang lewat. Gigi gingsulnya begitu memabukkan. Meski hitam, namun kulitnya tetap terlihat mempesona. Tahi lalat di dagunya menambah dercak kagum. Apalagi senyumannya, melayangkan fikiran ke dunia khayal teringgi. Begitulah kesan pertama aku melihat keturunan adam yang satu ini.
 Sorot romantika saat dua bola mata menemukan cahaya seseorang yang sahabatku kagumi sejak kelas enam Sekolah Dasar. Betapa tidak, pertemuan yang konon mereka awali dalam acara malam keakraban Pesta Siaga yang diadakan Dewan Kerja Ranting Limpung tidak disangka menumbuhkan benih-benih di hati sahabatku.
Sepasang sahabat yang dieratkan dalam aktivitas siswi SMP kelas VIII memaksa cerita-cerita cinta mengalir dengan indahnya dari mulut ke mulut. Aku yang belum pernah merasakan jatuh hati pada kaum adam hanya berperan sebagai pendengar setia. Kisahnya begitu mengispirasiku saat itu. Aku ingin sekali tahu siapa cowok yang tergantung di tempat terindah Citra dan bertemu dengannya, dalam benak keinginan ini begitu kuat.
Tepat pada saat event perayaan HUT RI ke-61 aku di pertemukan dengannya. Ternyata kita satu sekolah. Ku potret wajah sayu yang begitu lelah setelah karnavalan dengan kamera sahabatku. Siang malam aku mengingat raut mukanya. Rambut cepak bagaikan anggota Polri semakin melengkapi kekagumanku. Kagum? Nampaknya mulai berubah menjadi ‘suka’. Ah, rasanya suka tidaklah cukup. Pertemuan berkali-kali di sekolah menambah prosentase suka menjadi ‘sayang’.
Seiring perputaran bumi, dia mengenalku. Entah siapa yang memulai, kita saling menyapa saat malam Persami di Sekolah. Unik tapi tetap asyik. Malam pertama aku bisa menatap wajahnya dalam-dalam.
Bertambahnya usia dan seringnya pertemuan, semakin mengikat keintiman pandangan mata kita. Bukan berarti GR, perasaanku mengatakan dia ada rasa. Tentunya padaku, bukan sahabatku. Orang lain entah bilang apa. Aku hanya tahu, Tuhan menciptakan perasaan untuk saling menyayangi baik dengan sesama atau alam. Tak seorang pun mengerti akan kisah ini. Ternyata waktu mulai membagi aroma cerita ku pada orang-orang terdekat ku, termasuk Citra.
٭٭٭٭
Baru beberapa hari kita dinobatkan menjadi siswa SMA. Namun, Arjun tak lagi satu almamater denganku dan sahabatku. Sepulang sekolah, Citra menemuiku di taman.
“Bulan, kemarin kamu ketemuan ya?!,” spontan aku berteriak dalam hati menyaksikan ekspresi kecewa sahabatku terpancar dari sorot matanya. Meski tak semuanya ia lisankan, tapi aku tahu siapa yang Citra maksud. Hati mulai memberontak, memaksa kejujuran muncul dari mulut. Tak begitu dengan akal, terlalu menimbang rasa kasihan jika harus mengatakan yang sebenarnya.
“Maaf, Citra. Maksud kamu apa?,” jawabku berlagak begok.
“Udahlah, Lan. Berapa lama sih kita sahabatan? Apapun yang menghuni hatiku, aku selalu bagi denganmu. Apapun yang ku punya, aku juga bagi dengan mu. Kurang terbuka gimana lagi aku, Lan?.”
Ingin sekali saat itu aku peluk Citra. Ingin sekali aku minta maaf padanya. Aku sama sekali tidak bermaksud merebut Arjuna darinya. Tapi semua orang juga tahu, Arjuna tidak ada rasa pada Citra. Perasaan tak bisa bohongi keadaan, kita telah saling jatuh cinta. Bahkan sejak pertama kita saling mengenal. Oh Tuhan, mengapa berubah seperti ini…
“Iya, Cit. Aku bertemu dengan pangeranmu. Bahkan sudah berkali-kali. Maaf, kita… oh, bukan. Maksudku, aku… merasakan sesuatu padanya,” akhirnya lidah ini lancar mengeja kata-kata dengan apa adanya.
“Apa, Bulan. Kamu merasakan sesuatu pada Arjun? Perasaan apa? Bagaimana bisa muncul sesuatu diantara kalian? Ada apa dengan kalian?”
“Maafkan aku, Citra… sungguh aku tak bermaksud menyakitimu. Aku tidak merebut Arjun darimu. Aku… aku… aku… aku larut dalam persaanku sendiri.”
“Merebut? Apa-apaan ini, Lan? Ada apa dengan kalian? Apa jangan-jangan…”
“Tidak, Cit. Tidak. Tak kan ada apa-apa. Kita tidak…”
“Cukup! Aku tak mau lagi dengar apapun darimu. Aku paham maksudmu, Bulan. Terimakasih, setidaknya kamu masih mau jujur padaku.”
Tak ada apapun yang keluar dariku selain aliran air mata yang menghangat di pipi. Entah mengapa, kakiku hanya mematung. Enggan mengejar kepergian Citra. Aku tahu, dia juga menangis. Aku tak tahu mengapa malah telefon genggam yang buru-buru aku ambil. Reflek aku menelefon cowok yang barusan dipermasalahkan.
“Halo. Arjun,” sapa ku sambil menangis sesenggukan.
“Iya, Bulan. Bulan nangis ya?,” suaranya terdengar khawatir.
“Arjun, Arjun dimana? Bulan… Bulan pengen ketemu,”
“Iya, Arjun masih disekolah. Nih udah mau pulang, kok. Bulan dimana? Biar Arjun yang kesitu. Tapi Bulan jangan nangis.”
“Bulan di taman belakang sekolah.”
“Ya udah, bentar ya. Bulan disitu aja.”
Aku masih tak kuasa menghentikan air mata. Aku tak peduli orang-orang disekelilingku. Yang aku tahu, aku sedih dan ingin segera menumpahkannya pada Arjun. Aku juga tak tahu, tak pernah kata ‘aku’ dan ‘kamu’ keluar dari komunikasi kita. Tak pernah ada kode, komitmen, atau bahkan perjanjian antara kita. Sejak pertama menyapa, hanya nama masing-masinglah yang keluar.
Setelah pertemuan yang mengharu biru itu memanglah menimbulkan kesan lebih antara kita. Aku tak segan menumpahkan semua perasaanku saat itu pada Arjun. Bahkan dia tak sungkan memberikan jari-jarinya untuk mengusap air mata ku. Aku terharu. Yang masih setia nempel di memoriku adalah saat dia berkata, “Rembulan akan tetap terlihat mempesona meskipun tertutup awan.” Dia hibur aku hingga aku berhenti menangis dan berani menghadapi apa yang telah terjadi maupun akan terjadi.
٭٭٭
Pagi ini aku menemukan sesuatu yang berbeda di kelas. Suasana indah SMA yang baru beberapa hari aku dan Citra nikmati, kini nampaknya berubah. Memang kebanyakan teman sekelasku adalah teman dari SMP dulu, yang tentunya juga teman Citra. Ah, mungkin persaanku saja, masih terbawa-bawa kejadian kemarin.
Baru beberapa menit aku duduk, Citra masuk kelas. Tetapi bukannya mengahampiri tempat duduknya (satu meja dengan ku), malah menghampiri beberapa teman yang asyik ngobrol dibelakang.
“Ya’, yang semalem jadi kan?,” katanya.
“Oh, iya dong. Aku udah bilang Shela, kok. Dia mau,” jawab Aya, teman sekelasku.
“Oke. Makasih ya.”
Aku tak mengerti, semalem ada apa. Karena setelah kejadian itu, aku tak ada niat menghubungi Citra. Aku terlalu hanyut dengan kehadiran Arjun, di hatiku.
Dan ternyata, Citra tak mau duduk semeja denganku. Shela menggantikannya. Hari itu aku tak terlalu banyak ambil pusing dengan ini, mungkin karena aku terlalu sibuk dengan Arjun, yang setiap saat meramaikan inbox Hp.        
٭٭٭٭
Sore yang indah sepanjang hidupku saat ini. Tepat empat hari sebelum akhir tahun Arjun mengatakan sesuatu untuk ku. Dia sulap aku seolah menjadi ratu meski melalui pesan singkat.
Bulan… terangnya rembulan dikala purnama masih kalah dengan aura Bulan.
Bulan… manisnya bulan-bulan masih kalah manis dengan senyum Bulan.
Bulan… lembutnya awan dilangit masih kalah dengan keanggunan Bulan.
Ini sudah Arjun buktikan sejak pertama Arjun mengerti Bulan…
Bulan… bulatnya rembulan juga masih kalah bulat dibanding tekad Ajun untuk menyayangi Bulan. Maukah Bulan membalas perasaan Arjun?
Pesan singkat yang kaya makna. Meskipun aku seorang melankolis, tapi aku sok-sok manja sore itu. Aku hanya membalas, “Benarkah semua itu tersimpan dihati? Apa yang harus Bulan lakukan jika itu hanya tersimpan di Handphone?”.
Tak perlu menunggu satu menit setelah SMS terkirim, Arjun menelefon. Dia utarakan semua perasaan dan maksud  hatinya. Satu hal yang menambah  keyakinanku menerima dia, Arjun sama sekali tidak menunjukkan pemaksaan untuk mempercayai apa yang dia bilang. Kita tak terlalu banyak basa-basi dan rayuan gombal. Sejak saat itu, kita ‘jadian’. Cewek mana yang tidak bahagia saat ‘ditembak’ cowok. Apalagi untuk pertama kalinya.
٭٭٭٭
Hari-hariku begitu bahagia. Meski kita tak satu sekolah, kita bisa mengatur waktu untuk bertemu alias kencan. Tak ada lagi rasa canggung untuk saling memanggil dengan panggilan mesra. Kebahagiaan ini semakin menenggelamkan rasa bersalahku pada Citra. Aku terkadang benci dengan ego-ku, kenapa niat minta maaf atau bahkan komunikasi sama sekali tak muncul. Aku terlalu asyik menghabiskan hari-hariku dengan Arjun. Aku mulai tak begitu care dengan suasana kelas.
٭٭٭٭
Bulan-bulan pertama dan kedua setelah jadian bisa dikatakan langgeng-langgeng saja. Tak pernah ada cek-cok atau salah paham diantara kita. Bisa dipastikan setiap hari jum’at kita bertemu. Berbagi apapun yang bisa dibagi. Saling melengkapi dan saling percaya. Aku memahami, Arjun begitu menyayangiku.
Tapi, ternyata fakta berbicara lain. Bulan ketiga menginjak keempat setelah jadian, ada sesuatu yang aku lewatkan. Aku kurang sensitif membaca keadaan. Aku tak tahu apa yang terjadi beberapa hari belakangan.
Keceriaanku setiap hari dikelas ternyata dinilai berbeda oleh beberapa temanku. Prestasi yang aku dapat, juga menumbuhkan bibit iri di hati mereka. Aku buta dengan keadaan kelas. Beberapa teman kelas yang aku anggap teman baik karena akrab setelah terlibat kegiatan organisasi sekolah, bukanlah 100% baik. Ternyata mereka membentuk grup secara emosional yang aku tak tahu. Karena memang aku tak termasuk didalamnya menurut mereka. Dan salah satu yang mereka anggap anggota adalah Citra.
Mereka tahu semua yang terjadi antara aku dan Citra. Mereka juga selalu update tentang hubunganku dengan Arjun. Aya’, teman semejanya beberapa hari ini akrab dengan Arjun. Entah jurus apa yang dipakai olehnya. Aku tak pernah tahu. Satu lagi yang mengejutkanku. Shela, teman semejaku yang ku anggap ‘netral’, ternyata anggota dari mereka juga.
Siang itu rasanya aku mau pinsan. Entah kenapa, biasanya aku cuek menghadapi hal-hal seperti ini. Kali ini aku mulai berfikir. Apa mungkin karena menyangkut Arjun, aku jadi begini. Sedikit rasa khawatir mulai menelungkup hati.
٭٭٭٭
Beberapa hari ini aku merasakan sikap Arjun padaku dingin. Kita juga mulai jarang SMS-an. Ego masing-masing mulai muncul. Aku mulai terbawa suasana kelas. terakhir kita bertemu saat Arjun menjemput ku sepulang sekolah, tapi tak sepatah kata pun keluar dari kita berdua. Entah kenapa, aku pun malas memulainya. Hanya ucapan ‘Terima kasih’ yang terakhir aku lontarkan. Itupun tak ada balasan darinya.
٭٭٭٭
Hari ini aku menemukan fakta yang membuatku sangat kecewa pada Arjuna. Arjun SMS-an sama Aya, bahkan telefon-telefonan. Aku buktikan dengan mataku sendiri di Hp milik Aya.
Aku kecewa berat pada Arjun. Aku tak habis pikir, kepercayaanku yang begitu besar padanya telah ia khianati. Aku berjanji pada diriku sendiri, aku tidak akan menghubungi dia lagi. Aku heran, mengapa bisa seperti ini? Kemanakah perginya rasa sayang itu? Detik itu tak ku temukan perasaan apapun pada Arjun kecuali benci.
Benar. Telah terjadi sesuatu. Sejak itupun Arjun tak pernah menghubungiku. Aku tak mau ambil pusing dengan ini. Aku hanya berfikir, ‘siapa yang memulai?’. Aku menyibukkan diri dengan organisasi sekolah. Sedikit demi sedikit aku mulai lena dari Arjun, karena aku bertekad ‘aku adalah wanita, aku tak mau mengorbankan harga diri hanya untuk mengejar lelaki’.
Waktu berkehendak lain. Memaksa ku terseret dalam perasaan lagi. Sejatinya aku masih memikirkan Arjun. Masih ada harum cinta untuknya di hatiku. Inilah yang mengantarkanku kembali berurusan dengannya.
Aku berusaha menghubungi duluan, ternyata nomer Hpnya sudah ganti. Aku tak perlu berfikir panjang, aku langsung ‘mencuri’ nomer Hp Arjun di Hp Aya. Karena aku berburuk sangka dia masih contact-an sama Arjun. Ternyata benar, mereka tetap berhubungan.
٭٭٭٭
Rasa kecewa masih menguasai pikiranku. Sama, sore juga aku menghubungi Arjun. Cepat-cepat aku menelefonnya. Ada sedikit keraguan saat itu, tapi semuanya terkalahkan dengan emosi.
Aku sengaja membiarkan dia memulai pembicaraan dulu. “Halo, maaf siapa ya?,” ucapnya.
“Halo juga. Ini Aya. Arjun, apa kabar?,” sengaja aku basa-basi dengannya.
“Aya? Ah nggak mungkin. Aya’ suaranya nggak kaya gini.”
“Ah, masak? Udah lupa ya? Emang sulit sih, ng-save-nya di Hp doang kok ya. Kalo di hati ya nggak bakalan lupa.”
“Bulan?”
“Bulan Khazanaya. Masih nggak percaya ini Aya?”
“Maaf.”
“Yups…enak banget ya, bilang maaf. Gimana rasanya kalau ibu kamu yang jadi aku, tega kamu memperlakukan seperti ini? Ingat ya, apapun yang kita lakukan di dunia ini, suatu saat kita akan menuai hasilnya,” aku berusaha tetap tenang dan tegar.
“Maksud kamu apa?”.
Aku kecewa dengan jawaban Arjun. “Aku yang tanya! Maksud kamu apa nelantarin hubungan kita! Kalau udah pengen selesai ngomong! Nggak perlu di gantung-gantung seperti ini!”
“Maaf, aku nggak bisa melanjutkan semua ini. Aku pengen kita berteman saja. Itu akan lebih baik. Maaf atas semua kesalahanku. Udah ya, aku lagi sibuk. Selamat sore.”
Air mataku tumpah. Tak pernah ku sangka semua ini akan jadi begini. Cinta pertama yang katanya manis, aku rasa lebih pahit dari racun yang mematikan. Dia tak menghiraukanku. Bahkan berani menggunakan ‘aku’ dan ‘kamu’. Cukup. Aku tak akan lagi mengulangi semua ini.
Apa yang aku katakan pada Arjun, ku rasa terjadi pada ku. Aku berusaha me-review apa yang terjadi. Mungkin Citra menganggap aku telah menikamnya dari belakang. Merebut Arjun darinya untuk kesenanganku. Kini, aku juga merasakan. Betapa sakitnya ditikam teman sendiri. Direbut kesenangannya karena dirasa menyusahkan orang.
Sampai sekarang aku tak pernah tahu. Apa sebenarnya semua penyebab berakhirnya hubungan ini. Apa yang dilakukan mereka pada Arjun? Aku hanya bisa bertanya-tanya pada rumput yang bergoyang dan yang ku tahu ini menyakitkan.
Satu hari setelah aku putus dengan Arjun, aku mendapat pesan singkat yang begitu mencengangkan. Bagai disambar petir dipagi hari. Entah dari siapa, aku tak mengenal nomer ini. “Ternyata kau telah kehilangan kehormatanmu.”
Fitnah lebih kejam dari pada pembunuhan.
signature

0 komentar:

Posting Komentar

newer post older post Home