23.12.12

Prinsip-prinsip Komunikasi



A.      PENDAHULUAN
Pertukaran pesan dari seseorang kepada orang lain melalui media dan metode tertentu dengan harapan adanya persamaan perspektif atau pemahaman akan pesan tersebut, kendatinya sudah dilakukan manusia sejak lahir bahkan sejak masih dalam kandungan. Misal, kandungan yang normal, posisi kepala bayi berada dibawah menandakan mendekati kelahiran atau siap lahir.
Dalam perspektif agama, secara gampang manusia bisa menjawab bahwa Tuhan-lah yang mengajari kita berkomunikasi, menggunakan akal dan kemampuan bahasa yang dianugerahkan-Nya kepada kita. Seperti dalam QS Ar-Rahman ayat 1-4, yang artinya; “Tuhan yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia, yang mengajarinya pandai berbicara. [1]
Terbisa berkomunikasi belum berarti sudah mampu memahami komunikasi. Memahami komunikasi khususnya komunikasi manusia berarti memahami apa yang terjadi selama komunikasi berlangsung, mengapa komunikasi terjadi, akibat-akibat apa yang terjadi, dan apa yang dapat diperbuat untuk memengaruhi dan memaksimumkan hasil-hasil dari kejadian tersebut.
 Yang menjadi perhatian dalam makalah ini adalah bagaimana komunikasi dibangun dengan prinsip-prinsip yang dalam hal ini dikaitkan dengan hadits[2]. Apabila ditelisik kebelakang, hadits dalam hal ini juga merupakan sebuah produk atau hasil komunikasi, yaitu komunikasi yang melibatkan Rasulullah, para Sahabat, para perawinya, percetakan, dan sebagainya  hingga terbentuklah kitab-kitab atau buku-buku yang memuatnya.
  Dalam kamus Bahasa Indonesia, prinsip adalah asas, kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berfikir, bertindak, dan sebagainya. Prinsip merupakan petunjuk arah layaknya kompas. Kita bisa berpegangan pada prinsip - prinsip yang telah disusun dalam menjalani hidup tanpa harus kebingungan arah karena prinsip bisa memberikan arah dan tujuan yang jelas pada setiap hal.
Jadi, prinsip-prinsip komunikasi pada dasarnya adalah penjabaran lebih jauh dari definisi atau hakikat komunikasi. Banyak para ahli yang menggunakan kata lain selain prinsip komunikasi, diantaranya karakteristik komunikasi (Arthur Jensen) atau asumsi komunikasi (William B. Gudykunts dan Young Yun Kim).
B.  RUMUSAN MASALAH
1.    Apa yang dimaksud dengan Komunikasi?
2.    Apa saja Prinsip-prinsip Komunikasi?
3.    Apakah Dakwah Termasuk Komunikasi?
C. PEMBAHASAN
1.    Pengertian Komunikasi
Komunikasi berasal dari kata Latin “communis” yang berarti sama. Harold Lasswell menggambarkan komunikasi sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? Yang berarti Siapa, Mengatakan Apa, Dengan Saluran Apa, Dengan Siapa, Dengan Pengaruh Bagaimana.[3]
Dari konsep Lasswell tersebut, dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan suatu pesan melalui media tertentu kepada orang lain (komunikan) dengan harapan adanya suatu efek dari proses tersebut. Atau digambarkan sebagai berikut:
Komunikator          Pesan            Media            Komunikan            Efek    
Dikaitkan dengan hadits, Hadis komunikasi adalah perkataan, perbuatan maupun persetujuan Nabi SAW. yang berkaitan dengan proses yang menjelaskan 'siapa' mengatakan 'apa' dengan 'saluran' apa, 'kepada siapa', dan 'dengan akibat apa' atau 'hasil apa'.[4]
Komunikator bisa seseorang atau lembaga, begitu pula dengan komunikan. Pesan bisa diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol yang telah disepakati bersama, baik verbal maupun nonverbal. Sejauh ini, media yang digunakan oleh manusia juga berbagai macam, dari yang elektronik maupun tradisional.
Semakin banyak definisi dan kategorisasi yang diungkapkan oleh para ahli, semakin membuat makna komunikasi tidak jelas. Semua aktivitas sehari-hari yang dilakukan manusia dapat dikategorikan sebagai bentuk komunikasi. Baik dengan seseorang (interpersonal), banyak orang (kelompok), atau bahkan dengan dirinya sendiri (intrapersonal).
Al-Qur’an juga memberi sinyal mengenai tata cara komunikasi yang baik.
قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ
"Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun." (Q.S. Al-Baqarah: 263).
Prinsip atau etika komunikasi dalam Al-Qur’an:
a.    Prinsip Qaulan Baligha (قَوْلًا بَلِيغًا) / Perkataan yang membekas pada jiwa
Qaulan baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele.
b.   Prinsip Qaulan Karima(قَوْلًا كَرِيمًا) / Perkataan yang mulia
Qaulan karimah adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama.
c.    Prinsip Qaulan Maysura (قَوْلًا مَيْسُورًا) / Perkataan yang ringan
Qaulan maisura artinya perkataan yang mudah diterima, dan ringan, yang pantas, yang tidak berliku-liku.
d.   Prinsip Qaulan Ma’rufa(قَوْلًا مَعْرُوفًا) / Perkataan yang baik
Qaulan Ma’rufa bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan. Dalam beberapa konteks dijelaskan, bahwa qaul ma'ruf adalah perkataan yang baik, yang menancap ke dalam jiwa, sehingga yang diajak bicara tidak merasa dianggap bodoh (safih); perkataan yang mengandung penyesalan ketika tidak bisa memberi atau membantu; Perkataan yang tidak menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai perkataan yang baik.
e.    Prinsip Qaulan Layyina (قَوْلًا لَيِّنًا) / Perkataan yang lembut
Qaulan Layina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati maksudnya tidak mengeraskan suara, seperti membentak, meninggikan suara.
f.     Prinsip Qaulan Sadida (قَوْلًا سَدِيدًا)
Moh. Natsir dalam Fiqhud dakwahnya mengatakan bahwa, Qaulan Sadida adalah  perkataan lurus (tidak berbeli-belit), kata yang benar,keluar dari hati yang suci bersih, dan diucapkan dengan cara demikian rupa, sehingga tepat mengenai sasaran yang dituju yakni sehingga panggilan dapat sampai mengetuk pintu akal dan hati mereka yang di hadapi.[5]
2.    Prinsip-prinsip Komunikasi
Deddy Mulyana membagi prinsip-prinsip komunikasi dalam 12 prinsip. [6]
Prinsip 1: Komunikasi adalah Suatu Proses Simbolik
Salah satu kebutuhan pokok manusia, adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang. Ernst Cassier mengatakan bahwa keunggulan manusia atas makhluk lainnya adalah keistimewaan mereka sebagai animal symbolicum. Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama. Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani hubungan antara manusia dan objek (baik abstrak maupun nyata) tanpa kehadiran manusia dan objek tersebut.
Lambang adalah salah satu kategori tanda. Hubungan antara tanda dengan objek dapat juga direpresentasikan oleh ikon dan indeks. Ikon adalah suatu benda fisik yang menyerupai yang direpresentasikannya. Representasi ini ditandai dengan kemiripan. Contoh: foto di KTP adalah icon dari diri kita.
Indeks adalah suatu tanda yang secara alamiah merepresntasikan objek lainnya. Istilah lain yang sering digunakan untuk indeks adalah sinyal (signal), yang dalam bahasa sehari-hari disebut juga gejala (symptom). Indeks muncul berdasarkan hubungan antara sebab akibat yang punya kedekatan eksistensi. Contoh: asap merupakan indeks api. Lambang mempunyai beberapa sifat seperti berikut ini :
-  Lambang bersifat sembarang, manasuka atau sewenang-wenang. Apasaja bisa dijadikan lambang, bergantung pada kesepakatan bersama. Alam tidak memberikan penjelasan kepada kita mengapa manusia menggunakan lambang-lambang tertentu untuk merujuk pada hal-hal tertentu baik yang konkret atau pun yang abstrak.
-  Lambang pada dasarnya tidak mempunyai makna; kita-lah yang memberikan makna pada lambang. Makna sebenarnya ada dalam kepala kita, bukan terletak pada lambang itu sendiri. Persoalan akan timbul bila para peserta komunikasi tidak memberi makna yang sama pada suatu kata. Dengan kata lain, tidak ada hubungan yang alami antara lambang dengan referent (objek yang ditujunya).
-  Lambang itu bervariasi. Lambang itu bervariasi dari sudut budaya ke budaya lain, dari suatu tempat ke tempat lain, dan dari suatu konteks waktu ke konteks waktu yang lain serta maknanya dapat berubah.
عن عا ىشة ام المؤمنين رضى الله عنها ان الحرث بن هشام رضى الله عنه سآل رسول الله ص م فقال بارسول الله كيف يآتيك الوحى فقال رسول الله ص م احيا نا يآتيني مثل صلصلة الحرسس وهواشده على فيفصم عنى وقدوعيت عنه ماقال. واحيانايتمثل لى الملك رجل فيكلمنى فآعى مايقول
Dari Aisyah, ibu orang-orang mukmin berkata: “Bahwa sesungguhnya Haris bin Hisyam RA. bertanya kepadaa Rasulullah SAW.: Bagaimanakah caranya wahyu datang kepada tuan? Jawab Rasulullah: Kadang-kadang wahyu datang kepadaku sebagai bunyi lonceng; itulah yang sangat berat bagiku. Setelah ia berhenti, aku telah mengerti apa yang dikatakannya. Kadang-kadang malaikat merupakan dirinya padaku sebagai seorang laki-laki, lantas dia berbicara kepadaku, mana aku mengerti apa yang dibicarakannya.(HR. Buchori)[7]
Dalam hadits tersebut pesan disampaikan dalam berbagai simbol, akan tetapi apabila komunikan paham yang dimaksudkan komunikator, tidak akan menjadi masalah.
Prinsip 2: Setiap Perilaku Mempunyai Potensi Komunikasi
Kita tidak dapat tidak berkomunikasi (We cannot not communicate). Tidak berarti bahwa semua perilaku adalah komunikasi. Komunikasi terjadi bila seseorang memberikan makna pada perilaku orang lain atau perilakunya sendiri.
Misal, apabila seseorang tersenyum maka ia ditafsirkan atau dimaknai sedang bahagia.
حديث ابى هريرةرضى الله عنه, قال: نهى ان يصلى الرجل مختصرا
Hadits Abu Hurairah RA. dimana ia berkata: “Seseorang dilarang untuk mengerjakan shalat dengan meletakkan tangan di pinggang.” (HR. Buchori)[8]
Perilaku ‘meletakkan tangan di pinggang’, pada saat mengerjakan shalat, dilarang karena memiliki arti lain. Misal, ekspresi ‘nantang’, atau ‘melawan’ yang ada dihadapannya, yaitu Allah SWT.
Prinsip 3: Komunikasi Punya Dimensi Isi dan Dimensi Hubungan
Dimensi isi disandi secara verbal, sementara dimensi hubungan disandi secara nonverbal. Dimensi isi menunjukkan muatan (isi) komunikasi, yaitu apa yang dikatakan. Sedangkan dimensi hubungan menunjukkan bagaimana cara mengatakannya yang juga mengisyaratkkan bagaimana hubungan para peserta komunikasi itu, dan bagaimana seharusnya pesan itu ditafsirkan. Tidak semua orang menyadari bahwa pesan yang sama bisa ditafsirkan berbeda bila disampaikan dengan cara berbeda. Dalam komunikasi massa, dimensi isi merujuk pada isi pesan sedangkan dimensi hubungan merujuk kepada unsur-unsur lain termasuk juga jenis saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan tersebut. Pengaruh suatu pesan juga akan berbeda bila disajikan dengan media yang berbeda.
 عن عا ىشة ام المؤمنين رضى الله عنها ان الحرث بن هشام رضى الله عنه سآل رسول الله ص م فقال بارسول الله كيف يآتيك الوحى فقال رسول الله ص م احيا نا يآتيني مثل صلصلة الحرسس وهواشده على فيفصم عنى وقدوعيت عنه ماقال. واحيانايتمثل لى الملك رجل فيكلمنى فآعى مايقول
Dari Aisyah, ibu orang-orang mukmin berkata: “Bahwa sesungguhnya Haris bin Hisyam RA. bertanya kepadaa Rasulullah SAW.: Bagaimanakah caranya wahyu datang kepada tuan? Jawab Rasulullah: Kadang-kadang wahyu datang kepadaku sebagai bunyi lonceng; itulah yang sangat berat bagiku. Setelah ia berhenti, aku telah mengerti apa yang dikatakannya. Kadang-kadang malaikat merupakan dirinya padaku sebagai seorang laki-laki, lantas dia berbicara kepadaku, mana aku mengerti apa yang dibicarakannya.(HR. Buchori)[9]
Hadits tersebut juga menunjukkan bagaimana cara menghadapi komunikan dan menanggapi komunikator. Tidak mungkin manusia biasa bisa memahami apa yang disampaikan oleh malaikat.
Prinsip 4: Komunikasi Itu Berlangsung Dalam Berbagai Tingkat Kesengajaan
Komunikasi dilakukan dalam berbagai tingkat kesengajaan, dari komunikasi yang tidak sengaja sama sekali (misal ketika kita melamun sementara orang memperhatikan anda) hingga komunikasi yang benar-benar direncanakan dan disadari (ketika kita menyampaikan suatu pidato). Kesengajaan bukanlah syarat untuk terjadinya komunikasi. Meskipun kita sama sekali tidak bermaksud menyampaikan pesan kepada orang lain, perilaku kita potensial untuk ditafsirkan atau tidak menafsirkan perilaku kita.
Dalam berkomunikasi, kesadaran kita lebih tinggi dalam situasi khusus terlebih dalam situasi rutin. Dalam komunikasi sehari-hari terkadang kita mengucapkan pesan verbal yang tidak kita sengaja. Namun lebih banyak pesan nonverbal yang kita tunjukan tanpa kita sengaja. Komunikasi telah terjadi bila penafsiran telah berlangsung. Terlepas dari kesengajaan atau tidak. Jadi, niat kesengajaan bukanlah syarat mutlak bagi seseorang untuk berkomunikasi.
حديث ابى هريرة قال: قال رسول الله ص م: من كان يؤمن با لله وا ليوم الا خر فلا يؤذ جاره, و من كان يؤمن با لله وا ليوم الا خرفليكرم ضيفه, و من كان يؤمن با لله وا ليوم الا خرفليقل خيرا اوليصمت
Hadits Abu Hurairah dimana ia berkata: Rasulallah SAW. bersabda “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia mengganggu tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam saja.(HR. Bukhori-Muslim)[10]
Jadi, apabila seseorang tidak berniat untuk mengungkapkan hal-hal baik atau yang bermanfaat lebih baik diam saja.
Prinsip 5: Komunikasi Terjadi Dalam Konteks Ruang dan Waktu
Makna pesan juga bergantung pada konteks fisik atau ruang, waktu, sosial, dan psikologis. Lelucon yang lazim dipercakapkan ditempat hiburan, serasa kurang sopan bila dikemukakan dimasjid. Waktu juga memengaruhi makna terhadap suatu pesan, misalnya orang menelpon dini hari dengan siang hari akan berbeda. Kehadiran orang lain, sebagai konteks sosial juga akan memengaruhi orang-orang berkomunikasi, misalnya dua orang yang berkonflik akan canggung jika ada disituasi berdua tidak ada orang, namun dengan adanya orang ketiga, keeadaan akan bisa lebih mencair. Suasana psikologis peserta komunikasi tidak pelak memengaruhi suasana komunikasi.
حديث عبداللهبن عمرورضى الله عنهما ان رجلاسآل النبى صلى الله عليه وسلم اى الا سلا م خير؟ قال: تطعم الطعا م وتقرآ السلام على من عرفت ومن لم تعرف.
”Hadits ‘Abdullah bi ‘Amr ra. Bahwasanya ada seorang bertanya kepada Nabi SAW.: “Apakah yang baik dalam Islam?.” Beliau bersabda: “kamu memberikan makanan, dan mengucapkan salam kepada orang yang sudah kamu kenal maupun orang yang belum kamu kenal.” (HR. Buchori)
حديث ابى موسى رضى الله عنه قال: قالوايا رسول الله اى الا سلا م افضل؟ قال: من سلم المسلمون من لسا نه ويده.
“Hadits Abu Musa RA. dimana ia berkata: “Para Sahabat bertanya: “Wahai Rasulallah, apakah yang utama dalam Islam?”, beliau menjawab: “Orang yang kaum muslimin selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya.” (HR. Buchori)[11] 
Kedua hadits tersebut sama-sama membahas mengenai ‘Siapa yang utama atau baik dalam Islam’, tetapi Rasulullah menjawab dengan jawaban yang berbeda sesuai dengan konteksnya.
Prinsip 6: Komunikasi Melibatkan Prediksi Peserta Komunikasi
Ketika orang-orang berkomunikasi, mereka meramalkan efek perilaku komunikasi mereka. Dengan kata lain, komunikasi juga terikat oleh aturan atau tatakrama. Artinya, orang-orang memilih strategi tertentu berdasarkan bagaimana orang yang menerima pesan akan merespons. Prediksi ini tidak selalu disadari, dan sering berlangsung cepat. Kita dapat memprediksi perilaku komunikasi orang lain berdasarkan peran sosialnya. Prinsip ini mengasumsikan bahwa hingga derajat tertentu ada keteraturan pada perilaku komunikasi manusia, dengan kata lain perilaku manusia minimal secara parsial dapat diramalkan. Contoh, tidak mungkin seorang istri menampar suaminya sepulang kerja tanpa sebab apapun.
عن عبدالله بن عمروقال تخلف النبى ص م فى سفرةسا فرنا ها فآدركناوقدارهقتنا ا لصلا ةونحن نتوضآفجعلنا نمسح على ارجلنا فنا دى بآعلى صوته وبل للا عقا ب من النارمرتين اوثلا ثا 
Dari Abdullah bin ‘Amr (bin ‘Ash) katanya: “Terlambat Nabi dalam suatu perjalanan. Ketia beliau sampai ditempat kami, kebetulan waktu sembahyang telah tiba, dan kami sedang berwudhu. Kami membasuh kaki dengan tidak secukupnya. Lalu Nabi berteriak sekeras-keras suaranya: ”Celakalah tumit yang kena api neraka”. Dua atau tiga kali beliau teriak seperti itu.” (HR. Buchori)[12]
Dari hadits tersebut menunjukkan bahwa prediksi komunikasi telah dibentuk baik oleh Nabi ataupun kaumnya.
Prinsip 7: Komunikasi Itu Bersifat Sistemik
Setiap individu adalah suatu sistem yang hidup (a living system). Komunikasi juga menyangkut suatu sistem dari unsur-unsurnya. Setidaknya dua sistem dasar beroperasi dalam transaksi komunikasi yaitu: sistem internal (seluruh sistem nilai yang dibawa oleh seorang individu ketika ia berpartisipasi dalam komunikasi, yang ia serap selama sosialisasinya dalam berbagai lingkungan sosialnya) dan sistem eksternal (sistem yang terdiri dari unsur-unsur dalam lingkungan di luar individu, termasuk kata-kata yang ia pilih untuk berbicara, isyarat fisik peserta, dan temperatur ruangan).
 Komunikasi adalah produk dari perpaduan antara sistem internal dan sistem eksternal tersebut. Lingkungan dan objek memengaruhi komunikasi kita namun persepsi kita atas lingkungan kita juga memengaruhi cara berperilaku. Lingkungan dimana para peserta komunikasi itu berada merupakan bagian dari suatu sistem yang lebih besar.
حدثوا الناس بما يعرفون، أتحبون أن يكذب الله ورسوله
Berbicaralah kepada manusia dengan apa-apa yang mereka pahami, apakah kau suka Allah dan RasulNya didustakan?(HR. Buchori)[13]
Jadi, hendaknya kita memerhatikan latar belakang komunikan, sehingga pesan yang kita sampaikan bisa lebih efektif.
Prinsip 8: Semakin Mirip Latar Belakang Sosial Budaya Semakin Efektiflah Komunikasi
Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang hasilnya sesuai dengan harapan para pesertanya (orang-orang yang sedang berkomunikasi), yaitu adanya persamaan persepsi akan suatu hal. Semakin banyak persamaan antara komunikator dan komunikan, maka komunikasi yang berlangsung lebih mudah, karena keberanekaragaman pesan dimengerti keduanya. 
Prinsip 9: Komunikasi Bersifat Nonsekuensial
Meskipun terdapat banyak model komunikasi, sebenarnya komunikasi manusia dalam bentuk dasarnya bersifat dua arah. Beberapa pakar komunikasi mengakui sifat sirkuler atau dua arah komununikasi ini. Komunikasi sirkuler ditandai dengan beberapa hal berikut :
1.    Orang-orang yang berkomunikasi dianggap setara.
2.    Proses komunikasi berjalan timbal balik (dua arah).
3.    Dalam praktiknya, kita tidak lagi membedakan pesan dengan umpan balik.
4.    Komunikasi yang terjadi sebenarnya jauh lebih rumit.
Pada dasarnya, unsur tersebut tidak berdada dalam suatu tatanan yang bersifat linier, sirkuler, helikal atau tatanan lainnya. Unsur-unsur proses komunikasi boleh jadi beroprasi dalam suatu tatanan tadi, tetapi mungkin pula, setidaknya sebagian, dalam suatu tatanan yang acak.
عن ابى هريرة قال : قال رسول الله ص م ( حق المسلم على المسلم ست. قيل:وماهن يارسول الله؟ قال: اذا لقيته فسلم عليه,  واذادعاك فاجبه, واذا استنصحك فانصحه, و اذا عطس فحمد الله فشمته, واذا مرض فعده, واذا مات فاتبعه ) رواه مسلم.
Dari Abu Hurairah, ia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: haq muslim atas muslim lainnya ada enam perkara. Para sahabat bertanya, ‘Apa saja wahai Rasulallah?’beliau menjawab: apabila kau bertemu dengannya, hendaklah engkau beri salam kepadanya, apabila ia mengundangmu, hendaklah engkau memenuhinya, dan apabila ia minta nasihat kepadamu, hendaklah engkau menasihati dia, dan apabila ia bersin lalu memuji Allah (megucapkan Alhamdulillah), maka jawablah (dengan mengucapkan yarhamukallah), dan apabila ia sakit, hendaklah engkau menjenguk dia, dan apabila ia meninggal dunia, hendaklah engkau antarkan jenazahnya.” (HR. Muslim)[14]
Hadits diatas merupakan salah satu contoh komunikasi yang terjadi dua arah, yaitu antara Rasulullah dan para sahabat.


Prinsip 10: Komunikasi Bersifat Prosesual, Dinamis, dan Transaksional
Komunikasi tidak mempunyai awal dan akhir, melainkan merupakan proses yang sinambung (continues). Dalam proses komunikasi, para peserta komunikasi saling memengaruhi, seberapa kecil pun pengaruh itu, baik lewat komunikasi verbal maupun nonverbal. Implikasi dari komunikasi sebagai proses yang dinamis dan transaksional adalah bahwa para peserta komunikasi berubah (dari sekedar berubah pengetahuan hingga berubah pandangan dunia dan perilakunya). Implisit dalam proses komunikasi sebagai transaksi ini adalah proses penyadian (encoding) dan penyadian balik (decoding). Perspektif transaksional memberi penekanan pada dua sifat peristiwa komunikasi, yaitu serentak dan saling memengaruhi para pesertanya menjadi saling bergantung dan komunikasi mereka hanya dapat dianalisis berdasarkan konteks peristiwanya.
حديث انس عن عبدالعزيزو قا ل: سآ ل رجل انسا, ماسمعت نبى الله ص م فى الثوم؟ فقا ل: قال النبى ص م: من اكل من هذه الشجرة فلا يقربنا, او لايصلين معنا.
“Hadits Anas, dari ‘Abdul ‘Aziz dimana ia berkata: “ada seseorang bertanya kepada Anas: “Apakah yang kamu dengar dari Nabi SAW. mengenai bawang putih?”. Ia berkata: “Nabi SAW. bersabda: “Barangsiapa yang makan pohon ini maka janganlah ia mendekat kepada kamu”, atau “janganlah ia shalat bersama kami.”(HR. Buchori)[15]
Dari hadits diatas, menunjukkan adanya komunikasi yang berjalan prosesual, irreversibel, dan transaksional.
Prinsip 11: Komunikasi Bersifat Irreversibel
Sekali kita mengirimkan suatu pesan, kita tidak dapat mengendalikan pengaruh pesan tersebut bagi khalayak apalagi menghilangkan efek pesan tersebut sama sekali. Sifat irreversible ini adalah implikasi dari komunikasi sebagai suatu proses yang selalu berubah. Prinsip ini seharusnya menyadarkan kita bahwa kita harus berhati2 untuk menyampaikan suatu  pesan kepada orang lain, sebab efeknya tidak bisa ditiadakan sama sekali.
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا يَهْوِى بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang
 tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.” (HR. Muslim)[16]
Untuk itu hendaklah kita selalu memikirkan manfaat dan madharat pesan yang kita lontarkan kepada orang lain (komunikan).
Prinsip 12: Komunikasi Bukan Panasea Untuk Menyelesaikan Berbagai Masalah
Banyak persoalan dan konflik antar manusia disebabkan oleh masalah komunikasi. Namun komunikasi itu sendiri bukanlah panasea (obat mujarab) untuk menyelesaikan persoalan atau konflik itu. Karena persoalan atau konflik tersebut mungkin berkaitan dengan masalah struktural. Agar komunikasi efektif, kendala struktural ini juga harus diatasi.
  عن ابي ايوب ان رسول الله ص قال : لا يحل لمسلم اع يهجر اخاه فوق ثلاث ليل : يلتقيان, فيعرض هذا, و يعرض هذا, و خيرهما الذي يبداً باالسلام. متفق عليه
Dari Abi Ayyub, bahwasannya Rasulullah saw telah bersabda : “tidak halal bagi seorang muslim tidak damai dengan saudaranya lebih dari tiga malam, yaitu mereka bertemu, lalu yang ini berpaling dan yang itu berpaling, tetapi orang yang paling baik diantara mereka keduanya adalah yang memulai memberi salam.
(HR. Muttafaqun ‘alaih)
Dari hadits diatas, apabila tidak damai termasuk sebagai suatu masalah bagi orang yang terlibat, maka dengan adanya komunikasi yang diwujudkan dengan salam belum tentu bisa secara instan mendamaikan mereka, akan tetapi ini jalan yang baik.   
3.    Dakwah sebagai Komunikasi
Menurut Khidr Husain dakwah adalah upaya untuk memotivasi orang agar berbuat baik dan mengikuti jalan petunjuk, dan melakukan amr ma’ruf nahi munkar dengan tujuan mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[17] Oleh karena itu, kemampuan berkomunikasi seorang da’i memegang posisi yang penting. Sejatinya setiap muslim adalah da’i, untuk itu seharusnya mereka senantiasa mau dan mampu mengomunikasikan ajaran-ajaran Islam dengan baik.
Berhasil tidaknya dakwah yang dilakukan seorang da’i tergantung pada beberapa hal. diantaranya adalah kemampuan dan keterampiln da’i dalam mengomunikasikan pesan agar sampai kepada mad’u dengan utuh. Cara penyampaian yang salah, bisa memengaruhi tidak utuhnya pesan bahkan perbedaan persepsi antara da’i dan mad’u akan pesan tersebut.  
D. KESIMPULAN
Komunikasi adalah suatu proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan suatu pesan melalui media tertentu kepada orang lain (komunikan) dengan harapan adanya suatu efek dari proses tersebut. Hadis komunikasi adalah perkataan, perbuatan maupun persetujuan Nabi SAW. yang berkaitan dengan proses yang menjelaskan 'siapa' mengatakan 'apa' dengan 'saluran' apa, 'kepada siapa', dan 'dengan akibat apa' atau 'hasil apa'.
Deddy Mulyana membagi prinsip-prinsip komunikasi dalam 12 prinsip, yaitu komunikasi adalah suatu proses simbolik; setiap perilaku mempunyai potensi komunikasi; komunikasi punya dimensi isi dan dimensi hubungan; komunikasi itu berlangsung dalam berbagai tingkat kesengajaan; komunikasi terjadi dalam konteks ruang dan waktu; komunikasi melibatkan prediksi peserta komunikasi; komunikasi itu bersifat sistemik; semakin mirip latar belakang sosial budaya semakin efektiflah komunikasi; komunikasi bersifat nonsekuensial; komunikasi bersifat prosesual, dinamis, dan transaksional; komunikasi bersifat irreversibel; dan komunikasi bukan panasea untuk menyelesaikan berbagai masalah.
Prinsip atau etika komunikasi dalam Al-Qur’an, yaitu Prinsip Qaulan Baligha (قَوْلًا بَلِيغًا) / Perkataan yang membekas pada jiwa; Prinsip Qaulan Karima (قَوْلًا كَرِيمًا) / Perkataan yang mulia; Prinsip Qaulan Maysura (قَوْلًا مَيْسُورًا) / Perkataan yang ringan; Prinsip Qaulan Ma’rufa(قَوْلًا مَعْرُوفًا) / Perkataan yang baik; Prinsip Qaulan Layyina (قَوْلًا لَيِّنًا) / Perkataan yang lembut; dan Prinsip Qaulan Sadida (قَوْلًا سَدِيدًا).
Selain di Al-Qur’an, hadits juga mengajarkan bagaimana manusia berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia lainnya. Komunikasi perlu memerhatikan siapa yang kita hadapi, apa yang akan kita sampaikan, bagaimana dan kapan menyampaikannya, serta apa yang kita harapkan. Semuanya harus sesuai dengan ajaran Islam dan Rasulullah sebagai teladannya.
Apabila dianalogikan komunikasi sebagai dakwah, maka prinsip-prinsip komunikasi bisa diterapkan dalam dakwah. Yaitu:
-       Dakwah adalah suatu proses simbolik, bisa menggunakan bahasa ataupun teladan;
-       Setiap perilaku mempunyai potensi dakwah;
-       Dakwah mempunyai dimensi isi dan dimensi hubungan;
-       Dakwah berlangsung dalam berbagai tingkat kesengajaan;
-       Dakwah terjadi dalam konteks ruang dan waktu;
-       Dakwah bersifat nonsekuensial;
-       Dakwah bersifat prosesual dan dinamis;
-       Dakwah bukan panasea untuk menyelesaikan berbagai masalah.


DAFTAR PUSTAKA
Ali Abdul Halim Mahmud, Fiqhud Da’wah al Fardiyah, diterjemahkan oleh As’ad Yasin dengan judul Dakwah Fardiyah (Metode Membentuk Pribadi Muslim), Jakarta: Gema Insani, 1995.
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi (Suatu Pengantar), Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Jum’ah Amin Abdul Aziz, Ad-Da’wah, Qawaid wa Ushul, diterjemahkan oleh Abdus Salam Masykur dengan judul Fiqih Dakwah (Prinsip dan Kaidah Asasi Dakwah Islam), Solo: Era Intermedia, 2005. 
M. Munir dan Wahyu Ilaihi, Manajemen Dakwah, Jakarta: Prenada Media, 2006.
M. Ridho Syabibi, Metodologi Ilmu Da’wah (Kajian Ontologis Da’wah Ikhwan Al-Safa’), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Al-Lu’Lu’ Wal Marjan, diterjemahkan oleh Muslich Shabir dengan judul Terjemah Al-Lu’lu’ Wal marjan, Semarang: Al-Ridha, 1993.
Shahih Buchari, diterjemahkan oleh Zainudin Hamidy, et.al., dengan judul Terjemah Shahih Buchari, Jakarta: Wijaya, 1969.
Diposkan oleh Abu Hudzaifi, diakses dari http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/177?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem, pada 3/11 7:29 WIB
Diposkan oleh Arsyad, diakses dari http://arshadgraffity.blogspot.com/2010/12/bahasa-indonesia-identitas-kita.html, pada 22/10 21:06 WIB
Diposkan oleh Bebas Berpikir dan Berekspresi, diakses dari  http://abdulazizhadiskomunikasi.blogspot.com/2009/10/pengertian-hadis-komunikasi.html, pada 3/10 14:49 WIB


[1] Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi (Suatu Pengantar), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), Cet. II, Hal. 3
[2] Hadits adalah perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasul SAW.
[3] Deddy Mulyana, Loc. Cit., Hal. 62
[4] Diposkan oleh Bebas Berpikir dan Berekspresi, diakses dari  
[5] Diposkan oleh Arsyad, diakses dari http://arshadgraffity.blogspot.com/2010/12/bahasa-indonesia-identitas-kita.html, pada 22/10 21:06 WIB  
[6] Deddy Mulyana, Loc. Cit., Hal.83-115
[7] Shahih Buchari, diterjemahkan oleh Zainudin Hamidy, et.al., dengan judul Terjemah Shahih Buchari, (Jakarta: Wijaya, 1969), Cet.VIII, Hal. 13-14
[8] Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Al-Lu’Lu’ Wal Marjan, diterjemahkan oleh Muslich Shabir dengan judul Terjemah Al-Lu’lu’ Wal marjan, (Semarang: Al-Ridha, 1993), Cet.I, Hal.325 
[9] Zainudin Hamidy, et.al., Terjemah Shahih Buchari, (Jakarta: Wijaya, 1969), Cet.VIII, Hal. 13-14
[10] Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Loc. Cit., Hal.34
[11] Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Loc. Cit., Hal.30-31
[12] Zainudin Hamidy, et.al., Loc.Cit., Hal.45-46
[13] Diposkan oleh Abu Hudzaifi, diakses dari http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/177?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem, pada 3/11 7:29 WIB
[14] Ali Abdul Halim Mahmud, Fiqhud Da’wah al Fardiyah, diterjemahkan oleh As’ad Yasin dengan judul Dakwah Fardiyah (Metode membentuk Pribadi Muslim), (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet.I, Hal.142
[15] Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Loc. Cit., Hal.334
[16] Diposkan oleh Rumaysho, diakses dari http://rumaysho.com/belajar-islam/manajemen-qolbu/3430-diam-itu-emas.html, pada 3/11 7:42 WIB
[17] M. Munir dan Wahyu Ilaihi, Manajemen Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2006), Cet. 1, Hal.19
signature

0 komentar:

Posting Komentar

newer post older post Home